Jumat, 24 Juli 2009

Tangisan Sawah yang terbuang...


Dahulu..bila pagi atau sore hari berjalan-jalan di sepanjang pematang sawah yang menghampar hijau yang berada tidak jauh dari rumahku dikota yang lumayan tenang. Tetapi itu dahulu, sekarang ini sawah-sawah yang menghampar itu lambat laut mulai menghilang, karena banyak diuruk dengan tanah dan dibuat bangunan-bangunan rumah. Menjadi komplek-komplek perumahan mewah. Tak terdengar lagi suara jangkerik ketika senja mulai tiba, tak dapat lagi aku berlari-lari untuk melihat kupu-kupu yang beterbangan, bahkan tak dapat lagi anak-anak kecil bermain mencari capung yang dahulu begitu banyak beterbangan.

Aku rindu mencari kiambang atau nama kerennya Letucce air, yang biasanya akan kuambil dan kubawa pulang dan kuletakkan di dalam kolam ikan buatanku sendiri. Kiambang itu akan beranak pinak menjadi banyak dan akan menutupi permukaan kolam ikanku yang tidak terlalu besar. Biasanya aku akan memilah kiambang-kiambang yang daunnya sudah sobek atau yang banyak dimakan ulat sehingga menguning dan layu. Kiambang-kiambang itu akarnya akan mengambang di bawah permukaan air. Biasanya merupakan tempat ikanikanku bersembunyi untuk beristirahat. Bahkan sesekali ikan-ikan tersebut memakan lumut-lumut pada akar kiambang tersebut. Disamping itu juga kiambang-kiambang itu membuat kolam ikanku menjadi tampak indah alami. Senang sekali aku melihatnya, sering aku duduk termangu berlama-lama di tepi kolamku yang ukurannya hanya 2,5 m x 1,75 m saja, tapi cukuplah membuat batinku merasa tentram bermain di dekatnya, dengan melihat ikan-ikan murah yang kupelihara, yang dari hanya beberapa ekor saja akhirnya menjadi beranak pinak dan banyak. Anak-anak ikan yang kecil-kecil itu biasanya berenang berbondong-bondong bila kuberi makan, senang sekali melihat ikan-ikan itu berebut melahap makanan yang kulemparkan itu.

Aku juga rindu memetik genjer yang banyak tumbuh di sawah. Genjer adalah sebangsa gulma air yang banyak tumbuh di sawah, tapi di daerahku biasa dimakan sebagai tanaman sayuran. Bahkan genjer walaupun tidak dibudidayakan akan terus tumbuh banyak di sawah. Oleh petani setempat biasanya genjer akan diikat dan dijual di pasar sebagai sayuran dan juga menambah penghasilan petani tersebut dari hasil sawahnya. Genjer ini sungguh banyak diminati masyarakan, kadang bisa dibuat urap, ditumis, atau dibuat bahan untuk pecel (sejenis gado-gado). Ah ternyata sekarang sulit aku menemukannya lagi, karena di daerahku sudah jarang didapati sawah, walaupun ada haruslah ke pinggiran kota yang jaraknya cukup jauh.

Sawah-sawah itu sekarang telah menghilang, menjelma menjadi pemukiman mewah dan padat. Hijauan sawah dan padi yang menguning telah berubah menjadi rumah-rumah beton yang kokoh dan berdiri tegak dan angkuh. Dan tidak boleh setiap orang leluasa memasukinya, karena area perumahan itu menjadi rumah orang-orang berada. Kadang aku ingin melihat kembali tempat bermainku diwaktu kecil dan kucoba untuk memasukinya, ternyata yang bukan penghuni perumahan itu bila masuk harus diperiksa dahulu, ditanya mau ke rumah siapa, no berapa, huh sungguh menjengkelkan sekali. Bila tidak ada yang dituju haruslah meninggalkan ktp sebagai bukti bahwa kita tidak ada maksud jahat disana. Wah membuat bingung aku saja tentunya, karena sangat ingin melihatnya akupun terpaksa meninggalkan ktpku, dengan alasan ingin melihat tempat bermainku di waktu kecil akupun diijinkan masuk. Aku tidak marah pada satpan penjaganya, karena kutahu ia hanyalah menjalankan tugasnya saja dan tidak bermaksud untuk melecehkan aku.

Sawah-sawah itu telah berganti rupa, memang indah perumahan itu, bentuk rumah minimalis yang musim sekarang, seluruh jalan-jalan ditutupi dengan conblok sehingga tidak ada lagi suasana sawah yang becek dan berlumpur itu. Memang ada juga taman-taman dibuat di dalamnya, tapi tidaklah sepadan. Tempat resap air kini telah berkurang akibat pengerasan sawah menjadi perumahan. Angin sepoi-sepoi yang dahulu berhembus menyejukkan kini telah berganti dengan suana angin yang panas dan menambah keringat kita bercucuran lebih banyak. Semua ini demi keuntungan beberapa gelintir orang yang tidak mengindahkan pembangunan yang berlandaskan lingkungan yang sehat. Sawah-sawah tersebut hanya bisa menangis karena mereka tak bisa berdemo tajam di depan semua orang. Tak ada yang mendengarkan jeritan sawah-sawah yang hanya merintih ketika tempat hidupnya diambil orang...

Senin, 20 Juli 2009

Gunungku yang indah sedang bersedih


Ketika sore hari tiba, dan aku senang sekali berjalan-jalan sore ke suatu tempat yang berada tidak jauh dari rumahku. Betapa tidak, sepanjang jalan menuju tempat itu yaitu tepian pantai yang lautnya masih indah, yang biasa dikunjungi olehku bila sore hari libur tiba, atau bila masuk bulan ramadhan yang biasanya untuk menghabiskan sore menunggu buka puasa tiba, aku dan kakak atau ayahku akan keliling kota dan akhirnya menuju tepi pasir itu. Biasanya setelah puas memandang laut yang begitu tenangnya, dan bila sudah cukup puas memainkan butiran-butiran pasir di tepiannya, dan bila sudah puas memandang cakrawala yang mulai menguning dan memerah di ufuk jauh di ujung lautan. Aku biasanya akan berdiri takjub memandang cakrawala dengan warna awan yang berganti memerah menyala, pertanda senja mulai datang mengunjungi lautanku yang tenang dan mulai membiru kelam airnya. Indah sekali warna langitku di kala senja tiba, indah sekali pantulan air lautku terkena cahaya jingga. Ah seandainya saja aku bisa berlama-lama duduk disana, tentunya aku akan puas memandang indahnya alam semsesta. Ya Robbi, betapa Agungnya diriMu, betapa besarnya kuasaMU, semua terlihat dialam ciptaanMu ini.

Biasanya ayahku akan mengingatkanku, untuk segera pulang karena kami harus membeli kue-kue untuk penambah hidangan saat kami berbuka puasa nanti. Kalau sudah begitu akupun akan cepat melangkah ke tepian jalan menuju mobil kami dan kamipun bergegas pergi. Sepanjang perjalanan pulang aku melihat gunung yang menghijau di sepanjang jalan menuju rumahku, bukit-bukit batu itu kini sudah mulaui jelek sekali. Bagaimana tidak disana-sini permukaannya sudah penuh dengan lubang. Penduduk di sekitar bukit itu memanfaatkan batu yang dikandungnya untuk dijual. Mereka beramai-ramai menghancurkan dan melubangi bukit-bukit itu, dan jeleknya penambang itu tidaklah mengindahkan aturan yang ada. Seharusnya bukit itu tidaklah boleh sampai dihancurkan sedemikian rupa. Disana-sini terlihat lubang menganga, sungguh sangat menyedihkan melihatnya. Kelihatannya bukit itu tidak lama lagi mungkin beberapa tahun ke depan sudah hilang rata oleh permukaan tanah. Karena kulihat sudah setengah bagian dari bukit itu menghilang dan telah menjadi sama dengan tanah di sekitarnya, bahkan telah dibangun sebagai tempat berjualan bahkan di bangun sebagai rumah tinggal.

Aku dapat membayangkan bila saja hal itu terjadi, tentunya suatu saat banjir air laut tidak mustahil akan terjadi. Bagaimana tidak, bukit hijau yang kokoh berdiri sebagai penghadang air laut untuk menuju pemukiman warga, juga sebagai penahan angin yang sangat besar bila angin laut mulai berhembus ke daratan, sudah mulai rata. Tentu saja air laut dapat dengan mudahnya berjalan-jalan bukan pada tempatnya, mungkin juga lama-lama akan menenggelamkan kota kecil yang ada di dekatnya. Atau angin laut yang terkenal dengan hembusannya yang kuat, tentu akan dengan leluasa memporak porandakan apa yang dilewatinya tanpa adanya halangan dan rintangan lagi.

Sebenarnya bukit dan gunung kecil itu bersedih melihat ulah manusia yang begitu tidak bertanggung jawab merusak alam semesta ini. Gunung kecil iti sebenarnya tidaklah memikirkan akan dirinya yang sakit akibat dihujani palu besi yang selalu menghantam tubuhnya. Belum lagi sesekali tubuh gunung kecil itu hancur luluh, manakala manusia-manusia dengan pongahnya meledakkan tubuhnya demi mencari keuntungan pribadi. Sebenarnya ia hanya bersedih karena memikirkan bagaimana nasib manusia-manusia bumi ini nanti, bila aku si gunung sudah tidak ada lagi.. Bagaimana nasib manusia bumi ini bila sang angin akan leluasa berlari kencang tanpa penghadang lagi.. Bagaimana nasib manusia bumi ini nanti bila air laut merangsak menuju daratan dengan mudahnya tanpa ada yang membuatnya berhenti.. Bagaimana nasib manusia bumi ini nanti bila goncangan datang karena bumi bergoyang, dimana tak ada gunung lagi sebagai pasak dari bumi yang membuatnya tahan untuk goncangan-goncangan lainnya lagi. Bagaimana nasib penduduk bumi ini nanti bila semua manusianya sudah tak perduli lagi dengan alam ini......

Jumat, 10 Juli 2009

Cerita sedih bakauku yg hilang..

Sewaktu kecil aku dan keluargaku yang senang berlibur ke tepian pantai. Kala itu pantaiku masih bersih, jarang kutemui sampah-sampah yang mengambang di tepiannya. Tapi sekarang bila bermain di tepiannya, kadang kaki ini terantuk dengan bekas bungkus permen, botol aqua bekas, bungkus camilan anak-anak bahkan bonggol jagung yang terayun kesana kemari mengikuti ombak lautan. Jadi membuat malas untuk berenang bermain ombak. Ketika kecil aku akan senang sekali duduk agak menjauh dari pantai, menunggu hingga datangnya ombak yang akan menghembaspak aku ket tepian. Dan aku akan tertawa bahagia walau terkadang air laut yang asin ikut terbawa masuk ke dalam mulutku ketika berteriak kegirangan. Tapi sekarang hal itu sudah tidak aku lakukan lagi, karena hempasan ombak yang menghadang akan melemparkan aku dengan buih-buihnya dan disertai sampah yang turut menyangkut di badanku, sungguh membuatku jadi enggan untuk sekedar melepas rindu bermain dengan ombak.

Bila sempat ke pantai ini, aku hanya berjalan-jalan ditepi pantai mencari keong dan kelomang serta batu-batu karang yang sekarang sudah jarang di dapati lagi. Karena semua itu sekarang sudah dicari oleh penduduk setempat untuk dijual serta dijadikan cindera mata yang menarik hati. Pantaipun sudah mulai panas, karena pohon-pohon kelapa yang dahulu banyak ditanam sudah tidak kelihatan lagi karena tersingkir tempatnya untuk dijadikan arena duduk serta arena bermain anak-anak seperti ayunan, perosotan dan lainnya. Tinggal hanya pohon pantai yang tertinggal, itupun tidak banyak lagi. Pohon bakau yang banyak dulupun sudah hampir tidak ada lagi. Padahal waktu dulu aku akan senang sekali bermain di bawah pohn-pohon bakau itu, akarnya yang menggantung sungguh menarik hatiku, dan juga di bawah akar-akar bakau itu sering kutemui ikan kecil berwarna warni dan sangat menarik hati. Karena pohon-pohon bakau itu sudah tidak ada lagi, maka lautpun bila siang cuacanya sangat panas sekali. Ombak lautpun sering menghantam tepian pantai dan akhirnya meruntuhkan tepiannya, semakin lama semakin banyak tanah daratan yang terkisis ombak. Air lautpun bertambah maju, dan tanah pantaipun akhirnya menjadi sempit. Aku jadi berfikir, bila seperti ini terus nanti lautan akan semakin melebar dan akhirnya sampai ke tepi jalan. Dapat kubayangkan, lama-lama air laut akan naik ke jalan, bila ombak pasang akan menjadi banjir yang disebabkan air laut, huh ngeri sekali…

Semoga kita semua menyadari hal ini, dan cepaat-cepat untuk melakukan penanaman bakau kembali. Agar erosi air laut tidak bertambah besar dan menyusahkan kita sendiri. Semoga bakauku akan menghutan kembali, dimana ia merupakan rumah bagi ikan-ikan kecil yang berwarna warni… Bakau juga mampu menarik burung-burung untuk bertempat tinggal di dalamnya. Bakaupun dengan akarnya yang kuat mampu menahan gelombang air laut yang menghamtam keras. Bakaupun dapat memecah angin, sehingga angin laut yang bertiup kencang akan dibuyarkan oleh rimbunan pepohonan bakau, yang akhirnya angin itu sudah tidak kencang lagi bila sampai di daratan. Kita akhir-akhir ini sering dilanda angin kencang yang memporak-porandakan rumah-rumah, gedung-gedung dan apa saja yang dilaluinya. Begitu banyak arti pohon bakau ini bila kita menyadarinya, Allah telah memberikannya secara Cuma-Cuma untuk kebaikan kita sendiri. Tapi kita justru merusaknya dan memusnahkannya. Bila sudah terjadi musibah baru kita sadar, aliha-alih untuk mencegahnya kitapun membangun tanggul-tanggul tinggi agar air laut tidak naik ke darat. Tapi lagi-lagi tanggul itu kalah oleh ombak laut, pecah dan rubuh, dan air lautpun dengan leluasa bermain ke daratan dan merendam apa saja yang ada di sekitarnya.

Hutan bakau yang diberi Allah ternyata lebih kuat dan tangguh untuk melawan ombak laut, semua itu sudah diaturnya sedemikian rupa. Tidakkah kita bisa membacanya? Marilah sama-sama kita kembali merenungi hal ini dan bersama mengembalikan kembali fungsi alam ini agar tidak ada lagi musibah yang berkunjung tanpa henti…

Selasa, 07 Juli 2009

Daun Teh yang menghampar , obat penyejuk jiwa...

Ketika aku berjalan-jalan bermaksud menghirup udara sejuk pegunungan yang tentunya menyegarkan badan ini. Kutinggalkan sejenak hiruk pikuk kota yang penuh dengan polusi, debu, sampah yang bertebaran dijalanan (sesekali aku juga ikut melakukannya, ternyata…). Bersama keluarga dan sanak saudara, kami berlibur beberapa hari hitung-hitung menyenangkan anak-anak untuk bermain bebas tanpa takut tersenggol motor atau metromini he he, habis rumah kami dekat jalan yang cukup ramai yang tentunya bising, berdebu dan sumpek dempet-dempetan kaya ikan teri. Walaupun begini aku bersyukur karena sudah ada naungan sendiri tanpa perlu lagi pindah sana dan sini, yang merepotkan serta melelahkan tentunya saja. Kalau dipikir-pikir keseharian kami, bila baru keluar rumah saja sudah stress disambut dengan kemacetan yang menjemput dengan riangnya.. he he kita yang jadi sebel dan kesal tentunya.

Ah akhirnya bisa juga aku menghirup udara segar ini, disetiap mata memandang terhampar tanaman teh yang menghijau rapih, dari jauh bagaikan lembaran permadani tebal yang menyelimuti bukit dan pegunungan disebelahnya. Sesekali kabut menyelimuti, menambah indahnya pemandangan yang kulihat…Subhanallah inilah obat alami dan tanpa efek samping yang disediakan oleh Allah untuk kita semua dengan gratis demi mengobati jiwa setiap insan. Hanya dengan memandang alam ini, hati yang suntuk dan pikiran yang semrawut mendadak sirna dan menghilang pergi, stress pun bergegas menjauhi. Semakin dipandang dan dipandang lagi, semakin terasa ringan dihati. Sejenak aku menjadi seperti manusia yang baru kembali. Tiba-tiba pikiran dan masalah yang menumpuk, mulai dari kerjaan di rumah, anak-anak, kerjaan di kantor, tetangga, dan lainnya menjadi menguap dari kepala. Yang ada hanya rasa rindu padaNya, yang selama ini tertutupi kesibukan diri. Aku melupakan Engkau ya Robbi, yang ada hanya mengejar duniawi ini, menginginkan rumah, mobil, tanah, karir, dan angan-angan lainnya lagi yang selalu mengantri dengan tak ada habisnya. Tentunya saja membuat jiwa dan raga ini lumayan cape sekali. Sholatku hanya sekedar menggugurkan kewajiban, zikirku masih sekedar membasahi bibir tanpa meresap ke dalam hati. Sedekahku masih diiringi omelan sesekali, mungkin tidak bernilai pahala sama sekali. Mataku masih sering tak perduli dengan kekurangan orang lain walaupun terlihat di depanku. Telingaku kadang masih mendengar hal-hal buruk yang membuat aku lupa kepadaMU.

Masih menyelusuri bukit-bukit teh aku bejalan pelan dan tertegun dan berhenti, ketika melihat jurang menganga di bawahnya dengan gemericik suara air yang terdengar indah dari sungai yang memanjang jauh melingkar dan entah dimana akhirnya. Setapak demi setapak aku menuruni bukit kecil itu menuju sungai. Betapa jernih air yang mengalir ini, bebatuan dan kerikil di dalamnya terlihat dengan jelas. Tak sabar aku menciduknya dengan genggaman kedua tanganku, lalu kubasuhkan di wajahku, dingin dan sejuk sekali. Dan aku melangkah naik ke atas sebuah batu yang cukup besar untuk duduk di atasnya, malah muat untuk 3 orangpun bisa. Akupun duduk dan sesekali menggoyangkan kakiku ke dalam air sehingga tercipta cipratan-cipratan air yang berbentuk indah… Semua ini sangat membuat hati menjadi tentram, seandainya saja aku bisa tinggal disini… pikirku menerawang …
Setelah puas bermain dengan air, akupun beranjak menaiki bukit lagi dan berjalan pulang menuju villa lagi. Pasti anak-anak sudah mencari-cari aku, karena tadi aku bilang hanya ingin jalan sebentar melihat kebun teh di atas sana. Tapi ternyata kulirik jam tanganku, sudah satu jam lebih aku berjalan sendirian ini. Yang penting hatiku menjadi riang gembira, dan ketika sampai anak-anak kulihat sedang berenang bersama saudara-saudaranya. Ketika kuhampiri mereka serempak bertanya,”Dari mana aja?” Dan aku hanya menjawab dengan senyuman lebar mengembang. Aku telah menemukan kebahagiaan dengaNya lagi, semoga aku akan selalu menyadari hal ini…amin.

Minggu, 05 Juli 2009

Cerita dari Sekumpulan Daun-daun yang Terlupakan............................

Daun…. Bentukmu ada yang bulat ada yang memanjang, ada yang oval dan ada yang seperti pedang. Tepianmu ada halus bersih adapula yang bergerigi, ada ada juga yang tebal dan tajam bisa menyobek kulit. Dari bentukmu yang beraneka rupa, belum lagi warnamu sangat bervariasi, hijau pupus, hiju muda, hijau tua, hijau kekuningan, hijau kehitaman, hijau kemerahan, hijau keabu-abuan, hijau kecoklatan, yah sampai pegal tanganku mengetikkan keanekaragaman warnamu ini dan tak sanggup aku menjelaskannya satu persatu. Permukaanmu ada yang halus ada yang kasar, ada yang berbulu sedikit dan ada yang berbulu lebat sampai ada yang licin tanpa bulu, ada juga yang ditutupi lapisan lilin seperti pada daun Keladi sehingga air yang jatuh dipermukaanmu akan terus menggelincir cepat dan terjatuh ketanah. Bahkan bila embun pagi mulai menjauh, masih terlihat titik-titik air di atas permukaanmu dan membentuk konfigurasi yang menarik hati…

Daun…. Engkaupun rela bila dipetik dan dicabik-cabik olehku dan banyak orang lainnya. Aku sering memetikmu untuk kujadikan sebagai hiasan rumahku dan kutaruh dalam jambangan yang berisi air. Kulakukan ini pada daun sirih gading, daun bunga bahagia, daun bamboo jepang dan masih banyak lainnya. Bila daun itu mulai layu dan tak menarik lagi, akupun akan memetik kembali engkau dari taman kecil yang ada di rumahku. Kadang aku merenungi… apakah engkau sakit ketika kupetik, apakah engkau sedih ketika kupisahkan dengan bagian tubuhmu yang lainnya, apakah engkau tidak marah ketika aku sering menyobek-nyobekmu dan mengganti dengan lainnya ketika rangkaianmu tidak enak dipandang mata. Seandainya aku adalah engkau, tentunya aku akan sakit, sedih, marah dan kecewa atas semua perlakuan ini. Begitu besar hatinya dirimu, engkau rela menyerahkan diri untuk kebahagian dan kesenangan kami penduduk bumi ini.

Daun…. Kadang engkau dipetik lalu dimasak dengan air sampai mendidih dan dicampur dengan berbagai suku bangsa dari jenismu juga untuk siap menjadi sebuah hidangan untuk disantap olehku menjadi sayur asa, sayur bening bayam, sayur katuk, sayur kangkung, tumis sawi dan lain-lain, tentu ini sangat menyakitkanmu. Rasa panas akan membuat tubuhmu hancur dan menjadi lembut, semua ini demi kami semua penduduk bumi. Terkadang tubuhmu dicacah bahkan ditumbuk dulu sebelum dimasak diatas api, sungguh besar pengorbananmu ini… seperti pada daun pandan dan suji, demi untuk mengambil airmu yang berwarna hijau dan wangi yang akan ditambahkan sebagai pewarna dan pewangi alami untuk kue-kue dan masakan yang kami buat. Tentu pedih sekali ya badanmu, aku mulai dapat membayangkannya bila aku menjadi kamu…

Kadang engkau dipetik dan dijalin untuk membuat atap rumah pengganti genteng yang masih banyak dipakai di desa desa seperti daun alang-alang, daun kelapa, bahkan daun aren yang sudah jarang orang menanamnya. Daun kelapa juga sering dibuat sebagai kulit ketupat, yang biasa kita masak untuk hidangan dihari Raya sehabis berpuasa di bulan Ramadhan. Yah walaupun tidak Lebaran, daunmu tetap dipetik dan digunakan sebagai kulit ketupat bagi penjual ketupat sayur, ketoprak, gado-gado dan banyak lainnya lagi. Daun kelapa yang mudapun sering digunakan orang sebagai dekorasi pada acara-acara perkawinan, atau acara adat lainnya. Daun pisangpun sangat bermanfaat bagi kami, bisa dipakai untuk membungkus kue nagasari, kue jongkong, pepes ikan, membuat lontong, bahkan dapat dijadikan paying darurat ketika hujan…

Begitu banyak manfaatmu yang mungkin belum kusebut dalam catatanku ini. Semua ini adalah Karunia Alam semesta yang diberikan oleh Allah SWT sebagai penciptanya untuk seluruh penduduk bumi ini. Sering aku tidak menyadari akan Kebesaran Ilahi, sering pula aku tidak menyadari betapa Maha Pengasih dan Maha penyayangnya Allah, yang telah menyediakan alam semesta beserta seluruh isinya untuk kita semua… Baru aku dapat membaca semua ini, betapa engkau hai Daun… begitu tunduk dan patuh atas perintah dari Pencipta Langit dan Bumi ini untuk menyerahkan seluruh dirimu bagi kami manusia bumi yang sering bertindak arogan dan lupa bersyukur atas karunia ini. Jadikan kami agar dapat mensyukuri karuniaMu ini…amin.
Matahari yang selalu kutunggu….
Hari ini sudah jam enam pagi, aku cepat membuka tirai jendela yang tertutup bekas malam hari kemarin. Ah masih gelap sekali, terpaksa kunyalakan lampu agar bisa jelas menyapu lantai pagi ini. Rupanya mendung masih menggelayuti hari ini, mungkin awan masih enggan pergi dan masih ingin menyelimuti bumi. Memang sekarang sudah musim kemarau tiba, sudah hampir sebulan belum juga turun hujan. Dan semalam hujanpun turun membasahi bumi ini, lumayan untuk membasuh debu-debu di atas dedaunan, membasuh debu-debu di atas permukaan jalanan yang kering dan gersang. Memang tidaklah lebat tapi cukup membuat harum tanah yang beraroma khas menyembul ke permukaan dan terhirup nafas.
Ketika panas terik datang menghampiri bumi ini, aku senang karena cucian bajuku akan kering dengan cepat hari ini, yang akhirnya akan memudahkanku menggosoknya dan bajupun dapat kupakai lagi. Bila hujan terus-menerus datang tiada henti, pakaian tidak kunjung kering juga, menambah habis persediaan pakaian dalam lemari. Bilapun dipaksa kering dengan disetrika malah bau apek akan keluar menyertai. Jika ada matahari menyinari, akupun tak sungkan untuk pergi beraktivitas kesana kemari, karena tidak takut kebanjiran dan tak bisa kembali lagi ke rumah tentunya dengan tepat waktu. Tapi akhir-akhir ini sinar matahari menyengat keras sekali, panasnya membuat kulit wajahku terbakar memerah , belum lagi sinarnya yang membara membuat partikel debu mengering dan semakin mudah untuk terbang kesana kemari tentunya debu itupun membawa berjuta kuman dan penyakit di dalamnya. Akhirnya banyak penduduk bumi mulai terkena penyakit yang diakibatkan kuman, bakteri dan virus dalam udara panas tadi. Belum lagi panas matahari juga membuat dehidrasi badan kita semakin tinggi akibat keringat yang mengucur deras. Dan tidak Cuma itu tentunya, tanah-tanahpun mulai terkena imbasnya, mulai kering dan retak-retak sehingga tidak bisa untuk ditanami. Tentunya ini merugikan petani, karena mereka harus hijrah dari desa dan beralih profesi sebagai kuli, tukang becak, pemulung bahkan pengemis musiman, sungguh ironis sekali negeri yang kaya ini.
Tapi semua itu bukan salahmu Matahariku, engkau hanya menjalankan tugasmu dengan tepat dan pasti, panasmu yang terlalu menyengat datang ke bumi, itu karena kami telah menggunduli hutan-hutan di negeri ini sehingga tidak ada lagi banyak daun-daunan yang menangkap cahayamu untuk fotosintesisnya, dan juga tidak ada angin sepoi yang ditiupkan pepohonan itu lagi. Sehingga oksigen semakin berkurang diudara ini. Belum lagi pembakaran hutan yang semakin banyak terjadi menambah gas-gas berbahaya membanjiri atmosfer kita ini. Ah begitu banyak kesalahan kita penduduk bumi yang merusak lingkungan hidup kita sendiri, aku juga terkadang melakukannya sesekali… Tapi kini aku berusaha untuk tidak melakukannya lagi mulai dari diri sendiri tentunya, anak-anak pun kuajari ini, walau tidak mudah tentunya untuk meninggalkan kebiasaan buruk sehari- hari. Paling tidak dari lima sudah dirubah satu yang diganti dengan hal yang baik. Matahari aku akan selalu menunggu kemunculanmu setiap pagi….

Sabtu, 04 Juli 2009

Rumput, Kucing dan Aku.............

Rumput, kucing dan aku….

Aku teringat ketika masih tinggal di rumah yang lama, masih ada halaman di depan yang bisa kutanami dengan tanaman-tanaman berdaun hijau yang meyegarkan mata dan menyejukkan hati. Walau tanaman-tanaman itu bukanlah tanaman yang mahal, bahkan aku mendapatkannya dari tetangga secara gratis. Kadang tetangga membongkar tanamannya yang sudah terlalu banyak dan rimbun, dan menawarinya kepadaku, “daripada dibuang, katanya”. H ehe lumayan sekali, akhirnya halaman depan rumahku lumayan hijau dan penuh.
Sepanjang pagarnya kutanami tanaman katuk, yang selain untuk menutupi debu agar tidak langsung masuk ke dalam rumah, daun katuk itu dapat kupetik dan kumasak sebagai sayur bening untuk makan. Lumayan kan jadi menghemat pengeluaranku he he (pelit atau hemat ya?). Di pojokan salah satu sudut rumahku ada pohon jambu air yang lumayan manisrasanya, walau kadang pohon ini membuatku ekstra untuk menyapunya setiap hari, yah kalau tidak rumah kelihatan seperti gak berpenghuni, penuh dengan serakan daun sampah seperti di hutan liar aja. Pohon jambu ini lumayan membuat rumahku sejuk karena daun-daunnya yang rimbun menutupi sinar matahari yang menerpa depan rumah kami, itung-itung pohon itu memayungi rumah tapi tanpa bayaran sama sekali (padahal kalo nyewa ojek payung bayar seribu ya.. he he).
Di dekat pohon jambu, kutanami dengan tanaman lengkuas/laos yang sangat kubutuhkan bila memasak di dapur, juga di dekatnya kutanami daun kemangi yang biasa kugunakan sebagai lalapan segar, atau sebagai bahan untuk membuat pepes ikan mas, atau tambahan masakan pada kuah masakan lainnya. Lucunya, tetanggaku biasa memetik kemangi ini dengan meminta izin sembari berteriak dari luar aja, seperti “Bu, aku minta kemanginya ya?”. Kadang aku keluar dan memperlisahkannya, kadang bila aku masih ada kerjaan di belakang, atau bila aku sedang sholat tentu saja aku tidak bisa menjawabnya, merekapun akan tetap mengambilnya. Hal ini tidaklah membuatku marah, aku malah senang sekali. Karena tanaman kemangi itu, bila semakin sering dipetik akan cepat membuat cabang dan tunas barunya lagi, yang akhirnya justru membuat kemangiku menjadi tumbuh rimbun dan sehat. Begitu juga dengan tanaman pandanku, rupanya sangat diminati tetanggaku yang senang memasak kue-kue atau masakan lainnya. Yang lucu kadang anakku yang menjawab permintaan tetanggaku, “ya bu silahkan ambil sepuasnya dan uangnya taruh di depan saja!” , jawabnya dari dalam sembari senyum-senyum sendiri (tentunya dengan suara yang pelan yang tidak terdengar dari luar..).
Selain tanaman-tanaman tersebut aku juga menanam beberapa tanaman hias lainnya, dan biasa kutanam dalam pot, agar aku bisa memindah-mindahkannya dengan mudah sesuka hati . Tanah halamanku kututupi dengan rerumputan. Ini juga menambah kegiatanku untuk merapihkannya paling tidak sebulan sekali aku akan mengguntingnya. Lumayanlah hitung-hitung olahraga buat badan ini menjadi tukang potong rumput. Untunglah halamanku tidak besar, jadi tidak membuatku semaput he he, hanya sedikit membuat pinggang pegal karena terlalu banyak jongkok.
Kebiasaanku yang lain dengan anak-anak adalah duduk-duduk di teras rumah sambil menghirup udara luar bila sore hari tiba. Ketika kecil anak-anak akan bermain di taman depan rumahku dan aku duduk di teras mengawasinya. Oya di sekitar rumahku banyak sekali kucing-kucing liar yang datang dan pergi, terkadang ada yang selalu tidur di teras depan rumah. Suatu hari ketika sedang duduk di teras, aku melihat kucing berwarna coklat yang biasa ada diterasku sedang lompat sana lompat sini, kelihatannya ia sedang tidak enak badan, bahkan sesekali ia mengeluarkan erangan seperti merasakan kesakitan. Kalau orang, sepertinya kucing itu merasa ingin muntah, gak enak badannya. Bolak balik seperti itu, kadang menggulingkan badannya di rumput. Tampaknya kucing itu menderita sekali. Kalau kita manusia mungkin bila kita atau anak kita sakit tentu akan meminum obat atau di bawa ke dokter. Tapi bagaimana dengan kucing liar ini, aku juga tidak mengerti apa yang harus kuperbuat, sedangkan aku begitu takut dengan binatang-binatang, aku punya pengalaman buruk sewaktu kecil yaitu dicakar anak kucing, yang kata orang tuaku dulu sebenarnya kucing kecil itu ingin mengajakku bermain, tapi karena kuku-kutunya yang tajam akhirnya kakiku tergores. Dan sampai kini aku takut dengan semua binatang, jadi hanya senang melihatnya saja. Hei..tiba-tiba kucing itu mengerang keras, dan ia berlari ke arah rumput di halamanku, ia memakan rumput itu banyak-banyak dan mengunyahnya cepat sekali. Tak lama kemudian kulihat kucing itu wajahnya aneh seperti menahan rasa sakit, lalu ia seperti ingin muntah dan akhirnya ia benar-benar memuntahkan seluruh isi perutnya huh banyak sekali… Dan akhirnya wajah kucing itu menjadi lega dan ia terduduk lemas di atas rumput dan beberapa waktu kemudian wajahnya sudah segar kembali dan si coklatpun berlalu pergi dengan tenangnya seperti tak ada yang terjadi. Rupanya ia sudah sehat kembali..
Setelah kuperhatikan rupanya mungkin makanan sisa yang ia makan sudah basi atau sudah mengandung racun sehingga kucing itu keracunan, atau juga mungkin kucing itu masuk angin sehingga perutnya tidak enak dan kembung. Kalau kucing peliharaan tentunya bila sakit akan dibawa ke dokter hewan oleh pemeliharanya. Ternyata Allah Maha Adil, kucing liarpun telah diberikannya obat dari tanaman yang ada dibumi ini dan tersedia dimana saja. Kulihat dari muntahan kucing tadi, rumput yang ia makan turut keluar semua, mungkin rumput itu sebagai obat bagi perutnya yang tidak enak dan akhirnya dapat memacunya untuk mengeluarkan semua sisa makanan yang tidak baik yang sudah tertelan olehnya. Subhanallah, Allah memberikan rizki bagi semua mahluknya dibumi ini tanpa kecuali…. Semoga aku dapat selalu mensyukuri setiap nikmatNya yang telah IA berikan…amin.