Jumat, 24 Juli 2009

Tangisan Sawah yang terbuang...


Dahulu..bila pagi atau sore hari berjalan-jalan di sepanjang pematang sawah yang menghampar hijau yang berada tidak jauh dari rumahku dikota yang lumayan tenang. Tetapi itu dahulu, sekarang ini sawah-sawah yang menghampar itu lambat laut mulai menghilang, karena banyak diuruk dengan tanah dan dibuat bangunan-bangunan rumah. Menjadi komplek-komplek perumahan mewah. Tak terdengar lagi suara jangkerik ketika senja mulai tiba, tak dapat lagi aku berlari-lari untuk melihat kupu-kupu yang beterbangan, bahkan tak dapat lagi anak-anak kecil bermain mencari capung yang dahulu begitu banyak beterbangan.

Aku rindu mencari kiambang atau nama kerennya Letucce air, yang biasanya akan kuambil dan kubawa pulang dan kuletakkan di dalam kolam ikan buatanku sendiri. Kiambang itu akan beranak pinak menjadi banyak dan akan menutupi permukaan kolam ikanku yang tidak terlalu besar. Biasanya aku akan memilah kiambang-kiambang yang daunnya sudah sobek atau yang banyak dimakan ulat sehingga menguning dan layu. Kiambang-kiambang itu akarnya akan mengambang di bawah permukaan air. Biasanya merupakan tempat ikanikanku bersembunyi untuk beristirahat. Bahkan sesekali ikan-ikan tersebut memakan lumut-lumut pada akar kiambang tersebut. Disamping itu juga kiambang-kiambang itu membuat kolam ikanku menjadi tampak indah alami. Senang sekali aku melihatnya, sering aku duduk termangu berlama-lama di tepi kolamku yang ukurannya hanya 2,5 m x 1,75 m saja, tapi cukuplah membuat batinku merasa tentram bermain di dekatnya, dengan melihat ikan-ikan murah yang kupelihara, yang dari hanya beberapa ekor saja akhirnya menjadi beranak pinak dan banyak. Anak-anak ikan yang kecil-kecil itu biasanya berenang berbondong-bondong bila kuberi makan, senang sekali melihat ikan-ikan itu berebut melahap makanan yang kulemparkan itu.

Aku juga rindu memetik genjer yang banyak tumbuh di sawah. Genjer adalah sebangsa gulma air yang banyak tumbuh di sawah, tapi di daerahku biasa dimakan sebagai tanaman sayuran. Bahkan genjer walaupun tidak dibudidayakan akan terus tumbuh banyak di sawah. Oleh petani setempat biasanya genjer akan diikat dan dijual di pasar sebagai sayuran dan juga menambah penghasilan petani tersebut dari hasil sawahnya. Genjer ini sungguh banyak diminati masyarakan, kadang bisa dibuat urap, ditumis, atau dibuat bahan untuk pecel (sejenis gado-gado). Ah ternyata sekarang sulit aku menemukannya lagi, karena di daerahku sudah jarang didapati sawah, walaupun ada haruslah ke pinggiran kota yang jaraknya cukup jauh.

Sawah-sawah itu sekarang telah menghilang, menjelma menjadi pemukiman mewah dan padat. Hijauan sawah dan padi yang menguning telah berubah menjadi rumah-rumah beton yang kokoh dan berdiri tegak dan angkuh. Dan tidak boleh setiap orang leluasa memasukinya, karena area perumahan itu menjadi rumah orang-orang berada. Kadang aku ingin melihat kembali tempat bermainku diwaktu kecil dan kucoba untuk memasukinya, ternyata yang bukan penghuni perumahan itu bila masuk harus diperiksa dahulu, ditanya mau ke rumah siapa, no berapa, huh sungguh menjengkelkan sekali. Bila tidak ada yang dituju haruslah meninggalkan ktp sebagai bukti bahwa kita tidak ada maksud jahat disana. Wah membuat bingung aku saja tentunya, karena sangat ingin melihatnya akupun terpaksa meninggalkan ktpku, dengan alasan ingin melihat tempat bermainku di waktu kecil akupun diijinkan masuk. Aku tidak marah pada satpan penjaganya, karena kutahu ia hanyalah menjalankan tugasnya saja dan tidak bermaksud untuk melecehkan aku.

Sawah-sawah itu telah berganti rupa, memang indah perumahan itu, bentuk rumah minimalis yang musim sekarang, seluruh jalan-jalan ditutupi dengan conblok sehingga tidak ada lagi suasana sawah yang becek dan berlumpur itu. Memang ada juga taman-taman dibuat di dalamnya, tapi tidaklah sepadan. Tempat resap air kini telah berkurang akibat pengerasan sawah menjadi perumahan. Angin sepoi-sepoi yang dahulu berhembus menyejukkan kini telah berganti dengan suana angin yang panas dan menambah keringat kita bercucuran lebih banyak. Semua ini demi keuntungan beberapa gelintir orang yang tidak mengindahkan pembangunan yang berlandaskan lingkungan yang sehat. Sawah-sawah tersebut hanya bisa menangis karena mereka tak bisa berdemo tajam di depan semua orang. Tak ada yang mendengarkan jeritan sawah-sawah yang hanya merintih ketika tempat hidupnya diambil orang...

Senin, 20 Juli 2009

Gunungku yang indah sedang bersedih


Ketika sore hari tiba, dan aku senang sekali berjalan-jalan sore ke suatu tempat yang berada tidak jauh dari rumahku. Betapa tidak, sepanjang jalan menuju tempat itu yaitu tepian pantai yang lautnya masih indah, yang biasa dikunjungi olehku bila sore hari libur tiba, atau bila masuk bulan ramadhan yang biasanya untuk menghabiskan sore menunggu buka puasa tiba, aku dan kakak atau ayahku akan keliling kota dan akhirnya menuju tepi pasir itu. Biasanya setelah puas memandang laut yang begitu tenangnya, dan bila sudah cukup puas memainkan butiran-butiran pasir di tepiannya, dan bila sudah puas memandang cakrawala yang mulai menguning dan memerah di ufuk jauh di ujung lautan. Aku biasanya akan berdiri takjub memandang cakrawala dengan warna awan yang berganti memerah menyala, pertanda senja mulai datang mengunjungi lautanku yang tenang dan mulai membiru kelam airnya. Indah sekali warna langitku di kala senja tiba, indah sekali pantulan air lautku terkena cahaya jingga. Ah seandainya saja aku bisa berlama-lama duduk disana, tentunya aku akan puas memandang indahnya alam semsesta. Ya Robbi, betapa Agungnya diriMu, betapa besarnya kuasaMU, semua terlihat dialam ciptaanMu ini.

Biasanya ayahku akan mengingatkanku, untuk segera pulang karena kami harus membeli kue-kue untuk penambah hidangan saat kami berbuka puasa nanti. Kalau sudah begitu akupun akan cepat melangkah ke tepian jalan menuju mobil kami dan kamipun bergegas pergi. Sepanjang perjalanan pulang aku melihat gunung yang menghijau di sepanjang jalan menuju rumahku, bukit-bukit batu itu kini sudah mulaui jelek sekali. Bagaimana tidak disana-sini permukaannya sudah penuh dengan lubang. Penduduk di sekitar bukit itu memanfaatkan batu yang dikandungnya untuk dijual. Mereka beramai-ramai menghancurkan dan melubangi bukit-bukit itu, dan jeleknya penambang itu tidaklah mengindahkan aturan yang ada. Seharusnya bukit itu tidaklah boleh sampai dihancurkan sedemikian rupa. Disana-sini terlihat lubang menganga, sungguh sangat menyedihkan melihatnya. Kelihatannya bukit itu tidak lama lagi mungkin beberapa tahun ke depan sudah hilang rata oleh permukaan tanah. Karena kulihat sudah setengah bagian dari bukit itu menghilang dan telah menjadi sama dengan tanah di sekitarnya, bahkan telah dibangun sebagai tempat berjualan bahkan di bangun sebagai rumah tinggal.

Aku dapat membayangkan bila saja hal itu terjadi, tentunya suatu saat banjir air laut tidak mustahil akan terjadi. Bagaimana tidak, bukit hijau yang kokoh berdiri sebagai penghadang air laut untuk menuju pemukiman warga, juga sebagai penahan angin yang sangat besar bila angin laut mulai berhembus ke daratan, sudah mulai rata. Tentu saja air laut dapat dengan mudahnya berjalan-jalan bukan pada tempatnya, mungkin juga lama-lama akan menenggelamkan kota kecil yang ada di dekatnya. Atau angin laut yang terkenal dengan hembusannya yang kuat, tentu akan dengan leluasa memporak porandakan apa yang dilewatinya tanpa adanya halangan dan rintangan lagi.

Sebenarnya bukit dan gunung kecil itu bersedih melihat ulah manusia yang begitu tidak bertanggung jawab merusak alam semesta ini. Gunung kecil iti sebenarnya tidaklah memikirkan akan dirinya yang sakit akibat dihujani palu besi yang selalu menghantam tubuhnya. Belum lagi sesekali tubuh gunung kecil itu hancur luluh, manakala manusia-manusia dengan pongahnya meledakkan tubuhnya demi mencari keuntungan pribadi. Sebenarnya ia hanya bersedih karena memikirkan bagaimana nasib manusia-manusia bumi ini nanti, bila aku si gunung sudah tidak ada lagi.. Bagaimana nasib manusia bumi ini bila sang angin akan leluasa berlari kencang tanpa penghadang lagi.. Bagaimana nasib manusia bumi ini nanti bila air laut merangsak menuju daratan dengan mudahnya tanpa ada yang membuatnya berhenti.. Bagaimana nasib manusia bumi ini nanti bila goncangan datang karena bumi bergoyang, dimana tak ada gunung lagi sebagai pasak dari bumi yang membuatnya tahan untuk goncangan-goncangan lainnya lagi. Bagaimana nasib penduduk bumi ini nanti bila semua manusianya sudah tak perduli lagi dengan alam ini......

Jumat, 10 Juli 2009

Cerita sedih bakauku yg hilang..

Sewaktu kecil aku dan keluargaku yang senang berlibur ke tepian pantai. Kala itu pantaiku masih bersih, jarang kutemui sampah-sampah yang mengambang di tepiannya. Tapi sekarang bila bermain di tepiannya, kadang kaki ini terantuk dengan bekas bungkus permen, botol aqua bekas, bungkus camilan anak-anak bahkan bonggol jagung yang terayun kesana kemari mengikuti ombak lautan. Jadi membuat malas untuk berenang bermain ombak. Ketika kecil aku akan senang sekali duduk agak menjauh dari pantai, menunggu hingga datangnya ombak yang akan menghembaspak aku ket tepian. Dan aku akan tertawa bahagia walau terkadang air laut yang asin ikut terbawa masuk ke dalam mulutku ketika berteriak kegirangan. Tapi sekarang hal itu sudah tidak aku lakukan lagi, karena hempasan ombak yang menghadang akan melemparkan aku dengan buih-buihnya dan disertai sampah yang turut menyangkut di badanku, sungguh membuatku jadi enggan untuk sekedar melepas rindu bermain dengan ombak.

Bila sempat ke pantai ini, aku hanya berjalan-jalan ditepi pantai mencari keong dan kelomang serta batu-batu karang yang sekarang sudah jarang di dapati lagi. Karena semua itu sekarang sudah dicari oleh penduduk setempat untuk dijual serta dijadikan cindera mata yang menarik hati. Pantaipun sudah mulai panas, karena pohon-pohon kelapa yang dahulu banyak ditanam sudah tidak kelihatan lagi karena tersingkir tempatnya untuk dijadikan arena duduk serta arena bermain anak-anak seperti ayunan, perosotan dan lainnya. Tinggal hanya pohon pantai yang tertinggal, itupun tidak banyak lagi. Pohon bakau yang banyak dulupun sudah hampir tidak ada lagi. Padahal waktu dulu aku akan senang sekali bermain di bawah pohn-pohon bakau itu, akarnya yang menggantung sungguh menarik hatiku, dan juga di bawah akar-akar bakau itu sering kutemui ikan kecil berwarna warni dan sangat menarik hati. Karena pohon-pohon bakau itu sudah tidak ada lagi, maka lautpun bila siang cuacanya sangat panas sekali. Ombak lautpun sering menghantam tepian pantai dan akhirnya meruntuhkan tepiannya, semakin lama semakin banyak tanah daratan yang terkisis ombak. Air lautpun bertambah maju, dan tanah pantaipun akhirnya menjadi sempit. Aku jadi berfikir, bila seperti ini terus nanti lautan akan semakin melebar dan akhirnya sampai ke tepi jalan. Dapat kubayangkan, lama-lama air laut akan naik ke jalan, bila ombak pasang akan menjadi banjir yang disebabkan air laut, huh ngeri sekali…

Semoga kita semua menyadari hal ini, dan cepaat-cepat untuk melakukan penanaman bakau kembali. Agar erosi air laut tidak bertambah besar dan menyusahkan kita sendiri. Semoga bakauku akan menghutan kembali, dimana ia merupakan rumah bagi ikan-ikan kecil yang berwarna warni… Bakau juga mampu menarik burung-burung untuk bertempat tinggal di dalamnya. Bakaupun dengan akarnya yang kuat mampu menahan gelombang air laut yang menghamtam keras. Bakaupun dapat memecah angin, sehingga angin laut yang bertiup kencang akan dibuyarkan oleh rimbunan pepohonan bakau, yang akhirnya angin itu sudah tidak kencang lagi bila sampai di daratan. Kita akhir-akhir ini sering dilanda angin kencang yang memporak-porandakan rumah-rumah, gedung-gedung dan apa saja yang dilaluinya. Begitu banyak arti pohon bakau ini bila kita menyadarinya, Allah telah memberikannya secara Cuma-Cuma untuk kebaikan kita sendiri. Tapi kita justru merusaknya dan memusnahkannya. Bila sudah terjadi musibah baru kita sadar, aliha-alih untuk mencegahnya kitapun membangun tanggul-tanggul tinggi agar air laut tidak naik ke darat. Tapi lagi-lagi tanggul itu kalah oleh ombak laut, pecah dan rubuh, dan air lautpun dengan leluasa bermain ke daratan dan merendam apa saja yang ada di sekitarnya.

Hutan bakau yang diberi Allah ternyata lebih kuat dan tangguh untuk melawan ombak laut, semua itu sudah diaturnya sedemikian rupa. Tidakkah kita bisa membacanya? Marilah sama-sama kita kembali merenungi hal ini dan bersama mengembalikan kembali fungsi alam ini agar tidak ada lagi musibah yang berkunjung tanpa henti…

Selasa, 07 Juli 2009

Daun Teh yang menghampar , obat penyejuk jiwa...

Ketika aku berjalan-jalan bermaksud menghirup udara sejuk pegunungan yang tentunya menyegarkan badan ini. Kutinggalkan sejenak hiruk pikuk kota yang penuh dengan polusi, debu, sampah yang bertebaran dijalanan (sesekali aku juga ikut melakukannya, ternyata…). Bersama keluarga dan sanak saudara, kami berlibur beberapa hari hitung-hitung menyenangkan anak-anak untuk bermain bebas tanpa takut tersenggol motor atau metromini he he, habis rumah kami dekat jalan yang cukup ramai yang tentunya bising, berdebu dan sumpek dempet-dempetan kaya ikan teri. Walaupun begini aku bersyukur karena sudah ada naungan sendiri tanpa perlu lagi pindah sana dan sini, yang merepotkan serta melelahkan tentunya saja. Kalau dipikir-pikir keseharian kami, bila baru keluar rumah saja sudah stress disambut dengan kemacetan yang menjemput dengan riangnya.. he he kita yang jadi sebel dan kesal tentunya.

Ah akhirnya bisa juga aku menghirup udara segar ini, disetiap mata memandang terhampar tanaman teh yang menghijau rapih, dari jauh bagaikan lembaran permadani tebal yang menyelimuti bukit dan pegunungan disebelahnya. Sesekali kabut menyelimuti, menambah indahnya pemandangan yang kulihat…Subhanallah inilah obat alami dan tanpa efek samping yang disediakan oleh Allah untuk kita semua dengan gratis demi mengobati jiwa setiap insan. Hanya dengan memandang alam ini, hati yang suntuk dan pikiran yang semrawut mendadak sirna dan menghilang pergi, stress pun bergegas menjauhi. Semakin dipandang dan dipandang lagi, semakin terasa ringan dihati. Sejenak aku menjadi seperti manusia yang baru kembali. Tiba-tiba pikiran dan masalah yang menumpuk, mulai dari kerjaan di rumah, anak-anak, kerjaan di kantor, tetangga, dan lainnya menjadi menguap dari kepala. Yang ada hanya rasa rindu padaNya, yang selama ini tertutupi kesibukan diri. Aku melupakan Engkau ya Robbi, yang ada hanya mengejar duniawi ini, menginginkan rumah, mobil, tanah, karir, dan angan-angan lainnya lagi yang selalu mengantri dengan tak ada habisnya. Tentunya saja membuat jiwa dan raga ini lumayan cape sekali. Sholatku hanya sekedar menggugurkan kewajiban, zikirku masih sekedar membasahi bibir tanpa meresap ke dalam hati. Sedekahku masih diiringi omelan sesekali, mungkin tidak bernilai pahala sama sekali. Mataku masih sering tak perduli dengan kekurangan orang lain walaupun terlihat di depanku. Telingaku kadang masih mendengar hal-hal buruk yang membuat aku lupa kepadaMU.

Masih menyelusuri bukit-bukit teh aku bejalan pelan dan tertegun dan berhenti, ketika melihat jurang menganga di bawahnya dengan gemericik suara air yang terdengar indah dari sungai yang memanjang jauh melingkar dan entah dimana akhirnya. Setapak demi setapak aku menuruni bukit kecil itu menuju sungai. Betapa jernih air yang mengalir ini, bebatuan dan kerikil di dalamnya terlihat dengan jelas. Tak sabar aku menciduknya dengan genggaman kedua tanganku, lalu kubasuhkan di wajahku, dingin dan sejuk sekali. Dan aku melangkah naik ke atas sebuah batu yang cukup besar untuk duduk di atasnya, malah muat untuk 3 orangpun bisa. Akupun duduk dan sesekali menggoyangkan kakiku ke dalam air sehingga tercipta cipratan-cipratan air yang berbentuk indah… Semua ini sangat membuat hati menjadi tentram, seandainya saja aku bisa tinggal disini… pikirku menerawang …
Setelah puas bermain dengan air, akupun beranjak menaiki bukit lagi dan berjalan pulang menuju villa lagi. Pasti anak-anak sudah mencari-cari aku, karena tadi aku bilang hanya ingin jalan sebentar melihat kebun teh di atas sana. Tapi ternyata kulirik jam tanganku, sudah satu jam lebih aku berjalan sendirian ini. Yang penting hatiku menjadi riang gembira, dan ketika sampai anak-anak kulihat sedang berenang bersama saudara-saudaranya. Ketika kuhampiri mereka serempak bertanya,”Dari mana aja?” Dan aku hanya menjawab dengan senyuman lebar mengembang. Aku telah menemukan kebahagiaan dengaNya lagi, semoga aku akan selalu menyadari hal ini…amin.

Minggu, 05 Juli 2009

Cerita dari Sekumpulan Daun-daun yang Terlupakan............................

Daun…. Bentukmu ada yang bulat ada yang memanjang, ada yang oval dan ada yang seperti pedang. Tepianmu ada halus bersih adapula yang bergerigi, ada ada juga yang tebal dan tajam bisa menyobek kulit. Dari bentukmu yang beraneka rupa, belum lagi warnamu sangat bervariasi, hijau pupus, hiju muda, hijau tua, hijau kekuningan, hijau kehitaman, hijau kemerahan, hijau keabu-abuan, hijau kecoklatan, yah sampai pegal tanganku mengetikkan keanekaragaman warnamu ini dan tak sanggup aku menjelaskannya satu persatu. Permukaanmu ada yang halus ada yang kasar, ada yang berbulu sedikit dan ada yang berbulu lebat sampai ada yang licin tanpa bulu, ada juga yang ditutupi lapisan lilin seperti pada daun Keladi sehingga air yang jatuh dipermukaanmu akan terus menggelincir cepat dan terjatuh ketanah. Bahkan bila embun pagi mulai menjauh, masih terlihat titik-titik air di atas permukaanmu dan membentuk konfigurasi yang menarik hati…

Daun…. Engkaupun rela bila dipetik dan dicabik-cabik olehku dan banyak orang lainnya. Aku sering memetikmu untuk kujadikan sebagai hiasan rumahku dan kutaruh dalam jambangan yang berisi air. Kulakukan ini pada daun sirih gading, daun bunga bahagia, daun bamboo jepang dan masih banyak lainnya. Bila daun itu mulai layu dan tak menarik lagi, akupun akan memetik kembali engkau dari taman kecil yang ada di rumahku. Kadang aku merenungi… apakah engkau sakit ketika kupetik, apakah engkau sedih ketika kupisahkan dengan bagian tubuhmu yang lainnya, apakah engkau tidak marah ketika aku sering menyobek-nyobekmu dan mengganti dengan lainnya ketika rangkaianmu tidak enak dipandang mata. Seandainya aku adalah engkau, tentunya aku akan sakit, sedih, marah dan kecewa atas semua perlakuan ini. Begitu besar hatinya dirimu, engkau rela menyerahkan diri untuk kebahagian dan kesenangan kami penduduk bumi ini.

Daun…. Kadang engkau dipetik lalu dimasak dengan air sampai mendidih dan dicampur dengan berbagai suku bangsa dari jenismu juga untuk siap menjadi sebuah hidangan untuk disantap olehku menjadi sayur asa, sayur bening bayam, sayur katuk, sayur kangkung, tumis sawi dan lain-lain, tentu ini sangat menyakitkanmu. Rasa panas akan membuat tubuhmu hancur dan menjadi lembut, semua ini demi kami semua penduduk bumi. Terkadang tubuhmu dicacah bahkan ditumbuk dulu sebelum dimasak diatas api, sungguh besar pengorbananmu ini… seperti pada daun pandan dan suji, demi untuk mengambil airmu yang berwarna hijau dan wangi yang akan ditambahkan sebagai pewarna dan pewangi alami untuk kue-kue dan masakan yang kami buat. Tentu pedih sekali ya badanmu, aku mulai dapat membayangkannya bila aku menjadi kamu…

Kadang engkau dipetik dan dijalin untuk membuat atap rumah pengganti genteng yang masih banyak dipakai di desa desa seperti daun alang-alang, daun kelapa, bahkan daun aren yang sudah jarang orang menanamnya. Daun kelapa juga sering dibuat sebagai kulit ketupat, yang biasa kita masak untuk hidangan dihari Raya sehabis berpuasa di bulan Ramadhan. Yah walaupun tidak Lebaran, daunmu tetap dipetik dan digunakan sebagai kulit ketupat bagi penjual ketupat sayur, ketoprak, gado-gado dan banyak lainnya lagi. Daun kelapa yang mudapun sering digunakan orang sebagai dekorasi pada acara-acara perkawinan, atau acara adat lainnya. Daun pisangpun sangat bermanfaat bagi kami, bisa dipakai untuk membungkus kue nagasari, kue jongkong, pepes ikan, membuat lontong, bahkan dapat dijadikan paying darurat ketika hujan…

Begitu banyak manfaatmu yang mungkin belum kusebut dalam catatanku ini. Semua ini adalah Karunia Alam semesta yang diberikan oleh Allah SWT sebagai penciptanya untuk seluruh penduduk bumi ini. Sering aku tidak menyadari akan Kebesaran Ilahi, sering pula aku tidak menyadari betapa Maha Pengasih dan Maha penyayangnya Allah, yang telah menyediakan alam semesta beserta seluruh isinya untuk kita semua… Baru aku dapat membaca semua ini, betapa engkau hai Daun… begitu tunduk dan patuh atas perintah dari Pencipta Langit dan Bumi ini untuk menyerahkan seluruh dirimu bagi kami manusia bumi yang sering bertindak arogan dan lupa bersyukur atas karunia ini. Jadikan kami agar dapat mensyukuri karuniaMu ini…amin.
Matahari yang selalu kutunggu….
Hari ini sudah jam enam pagi, aku cepat membuka tirai jendela yang tertutup bekas malam hari kemarin. Ah masih gelap sekali, terpaksa kunyalakan lampu agar bisa jelas menyapu lantai pagi ini. Rupanya mendung masih menggelayuti hari ini, mungkin awan masih enggan pergi dan masih ingin menyelimuti bumi. Memang sekarang sudah musim kemarau tiba, sudah hampir sebulan belum juga turun hujan. Dan semalam hujanpun turun membasahi bumi ini, lumayan untuk membasuh debu-debu di atas dedaunan, membasuh debu-debu di atas permukaan jalanan yang kering dan gersang. Memang tidaklah lebat tapi cukup membuat harum tanah yang beraroma khas menyembul ke permukaan dan terhirup nafas.
Ketika panas terik datang menghampiri bumi ini, aku senang karena cucian bajuku akan kering dengan cepat hari ini, yang akhirnya akan memudahkanku menggosoknya dan bajupun dapat kupakai lagi. Bila hujan terus-menerus datang tiada henti, pakaian tidak kunjung kering juga, menambah habis persediaan pakaian dalam lemari. Bilapun dipaksa kering dengan disetrika malah bau apek akan keluar menyertai. Jika ada matahari menyinari, akupun tak sungkan untuk pergi beraktivitas kesana kemari, karena tidak takut kebanjiran dan tak bisa kembali lagi ke rumah tentunya dengan tepat waktu. Tapi akhir-akhir ini sinar matahari menyengat keras sekali, panasnya membuat kulit wajahku terbakar memerah , belum lagi sinarnya yang membara membuat partikel debu mengering dan semakin mudah untuk terbang kesana kemari tentunya debu itupun membawa berjuta kuman dan penyakit di dalamnya. Akhirnya banyak penduduk bumi mulai terkena penyakit yang diakibatkan kuman, bakteri dan virus dalam udara panas tadi. Belum lagi panas matahari juga membuat dehidrasi badan kita semakin tinggi akibat keringat yang mengucur deras. Dan tidak Cuma itu tentunya, tanah-tanahpun mulai terkena imbasnya, mulai kering dan retak-retak sehingga tidak bisa untuk ditanami. Tentunya ini merugikan petani, karena mereka harus hijrah dari desa dan beralih profesi sebagai kuli, tukang becak, pemulung bahkan pengemis musiman, sungguh ironis sekali negeri yang kaya ini.
Tapi semua itu bukan salahmu Matahariku, engkau hanya menjalankan tugasmu dengan tepat dan pasti, panasmu yang terlalu menyengat datang ke bumi, itu karena kami telah menggunduli hutan-hutan di negeri ini sehingga tidak ada lagi banyak daun-daunan yang menangkap cahayamu untuk fotosintesisnya, dan juga tidak ada angin sepoi yang ditiupkan pepohonan itu lagi. Sehingga oksigen semakin berkurang diudara ini. Belum lagi pembakaran hutan yang semakin banyak terjadi menambah gas-gas berbahaya membanjiri atmosfer kita ini. Ah begitu banyak kesalahan kita penduduk bumi yang merusak lingkungan hidup kita sendiri, aku juga terkadang melakukannya sesekali… Tapi kini aku berusaha untuk tidak melakukannya lagi mulai dari diri sendiri tentunya, anak-anak pun kuajari ini, walau tidak mudah tentunya untuk meninggalkan kebiasaan buruk sehari- hari. Paling tidak dari lima sudah dirubah satu yang diganti dengan hal yang baik. Matahari aku akan selalu menunggu kemunculanmu setiap pagi….

Sabtu, 04 Juli 2009

Rumput, Kucing dan Aku.............

Rumput, kucing dan aku….

Aku teringat ketika masih tinggal di rumah yang lama, masih ada halaman di depan yang bisa kutanami dengan tanaman-tanaman berdaun hijau yang meyegarkan mata dan menyejukkan hati. Walau tanaman-tanaman itu bukanlah tanaman yang mahal, bahkan aku mendapatkannya dari tetangga secara gratis. Kadang tetangga membongkar tanamannya yang sudah terlalu banyak dan rimbun, dan menawarinya kepadaku, “daripada dibuang, katanya”. H ehe lumayan sekali, akhirnya halaman depan rumahku lumayan hijau dan penuh.
Sepanjang pagarnya kutanami tanaman katuk, yang selain untuk menutupi debu agar tidak langsung masuk ke dalam rumah, daun katuk itu dapat kupetik dan kumasak sebagai sayur bening untuk makan. Lumayan kan jadi menghemat pengeluaranku he he (pelit atau hemat ya?). Di pojokan salah satu sudut rumahku ada pohon jambu air yang lumayan manisrasanya, walau kadang pohon ini membuatku ekstra untuk menyapunya setiap hari, yah kalau tidak rumah kelihatan seperti gak berpenghuni, penuh dengan serakan daun sampah seperti di hutan liar aja. Pohon jambu ini lumayan membuat rumahku sejuk karena daun-daunnya yang rimbun menutupi sinar matahari yang menerpa depan rumah kami, itung-itung pohon itu memayungi rumah tapi tanpa bayaran sama sekali (padahal kalo nyewa ojek payung bayar seribu ya.. he he).
Di dekat pohon jambu, kutanami dengan tanaman lengkuas/laos yang sangat kubutuhkan bila memasak di dapur, juga di dekatnya kutanami daun kemangi yang biasa kugunakan sebagai lalapan segar, atau sebagai bahan untuk membuat pepes ikan mas, atau tambahan masakan pada kuah masakan lainnya. Lucunya, tetanggaku biasa memetik kemangi ini dengan meminta izin sembari berteriak dari luar aja, seperti “Bu, aku minta kemanginya ya?”. Kadang aku keluar dan memperlisahkannya, kadang bila aku masih ada kerjaan di belakang, atau bila aku sedang sholat tentu saja aku tidak bisa menjawabnya, merekapun akan tetap mengambilnya. Hal ini tidaklah membuatku marah, aku malah senang sekali. Karena tanaman kemangi itu, bila semakin sering dipetik akan cepat membuat cabang dan tunas barunya lagi, yang akhirnya justru membuat kemangiku menjadi tumbuh rimbun dan sehat. Begitu juga dengan tanaman pandanku, rupanya sangat diminati tetanggaku yang senang memasak kue-kue atau masakan lainnya. Yang lucu kadang anakku yang menjawab permintaan tetanggaku, “ya bu silahkan ambil sepuasnya dan uangnya taruh di depan saja!” , jawabnya dari dalam sembari senyum-senyum sendiri (tentunya dengan suara yang pelan yang tidak terdengar dari luar..).
Selain tanaman-tanaman tersebut aku juga menanam beberapa tanaman hias lainnya, dan biasa kutanam dalam pot, agar aku bisa memindah-mindahkannya dengan mudah sesuka hati . Tanah halamanku kututupi dengan rerumputan. Ini juga menambah kegiatanku untuk merapihkannya paling tidak sebulan sekali aku akan mengguntingnya. Lumayanlah hitung-hitung olahraga buat badan ini menjadi tukang potong rumput. Untunglah halamanku tidak besar, jadi tidak membuatku semaput he he, hanya sedikit membuat pinggang pegal karena terlalu banyak jongkok.
Kebiasaanku yang lain dengan anak-anak adalah duduk-duduk di teras rumah sambil menghirup udara luar bila sore hari tiba. Ketika kecil anak-anak akan bermain di taman depan rumahku dan aku duduk di teras mengawasinya. Oya di sekitar rumahku banyak sekali kucing-kucing liar yang datang dan pergi, terkadang ada yang selalu tidur di teras depan rumah. Suatu hari ketika sedang duduk di teras, aku melihat kucing berwarna coklat yang biasa ada diterasku sedang lompat sana lompat sini, kelihatannya ia sedang tidak enak badan, bahkan sesekali ia mengeluarkan erangan seperti merasakan kesakitan. Kalau orang, sepertinya kucing itu merasa ingin muntah, gak enak badannya. Bolak balik seperti itu, kadang menggulingkan badannya di rumput. Tampaknya kucing itu menderita sekali. Kalau kita manusia mungkin bila kita atau anak kita sakit tentu akan meminum obat atau di bawa ke dokter. Tapi bagaimana dengan kucing liar ini, aku juga tidak mengerti apa yang harus kuperbuat, sedangkan aku begitu takut dengan binatang-binatang, aku punya pengalaman buruk sewaktu kecil yaitu dicakar anak kucing, yang kata orang tuaku dulu sebenarnya kucing kecil itu ingin mengajakku bermain, tapi karena kuku-kutunya yang tajam akhirnya kakiku tergores. Dan sampai kini aku takut dengan semua binatang, jadi hanya senang melihatnya saja. Hei..tiba-tiba kucing itu mengerang keras, dan ia berlari ke arah rumput di halamanku, ia memakan rumput itu banyak-banyak dan mengunyahnya cepat sekali. Tak lama kemudian kulihat kucing itu wajahnya aneh seperti menahan rasa sakit, lalu ia seperti ingin muntah dan akhirnya ia benar-benar memuntahkan seluruh isi perutnya huh banyak sekali… Dan akhirnya wajah kucing itu menjadi lega dan ia terduduk lemas di atas rumput dan beberapa waktu kemudian wajahnya sudah segar kembali dan si coklatpun berlalu pergi dengan tenangnya seperti tak ada yang terjadi. Rupanya ia sudah sehat kembali..
Setelah kuperhatikan rupanya mungkin makanan sisa yang ia makan sudah basi atau sudah mengandung racun sehingga kucing itu keracunan, atau juga mungkin kucing itu masuk angin sehingga perutnya tidak enak dan kembung. Kalau kucing peliharaan tentunya bila sakit akan dibawa ke dokter hewan oleh pemeliharanya. Ternyata Allah Maha Adil, kucing liarpun telah diberikannya obat dari tanaman yang ada dibumi ini dan tersedia dimana saja. Kulihat dari muntahan kucing tadi, rumput yang ia makan turut keluar semua, mungkin rumput itu sebagai obat bagi perutnya yang tidak enak dan akhirnya dapat memacunya untuk mengeluarkan semua sisa makanan yang tidak baik yang sudah tertelan olehnya. Subhanallah, Allah memberikan rizki bagi semua mahluknya dibumi ini tanpa kecuali…. Semoga aku dapat selalu mensyukuri setiap nikmatNya yang telah IA berikan…amin.

Sabtu, 27 Juni 2009

Angin yang Berlari Kencang

Sebenarnya sekarang ini harusnya sudah memasuki musim kemarau, tapi beberapa waktu lalu hujan masih muncul dan tentunya menggenangi jalan-jalan di setiap sudut kota Jakarta ini. Lumayan membuat genangan yang cukup tinggi bagi para pejalan kaki, kasihan kadang mereka harus menggulung celana dan menenteng sepatunya ketika hendak berangkat kerja. Nampaknya hal ini sudah sangat biasa, sehingga pendudukpun tidaklah terlalu merisaukannya, semua ikhlas menerimanya atau sebenarnya menggerutu di dalam hati, yang jelas hal intu tidaklah menyurutkan mereka semua untuk berangkat kerja mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Sesekali pejalan kaki itu terkejut dengan aliran air yang tiba-tiba mencipratinya karena ulah sepeda motol atau mobil yang tidak mau berjalan pelan sehingga tentunya membuat celana mereka sedikit basah. Lucunya mereka tidak marah, aku sedikit bingung, apakah ini berarti mereka menerima semua ini dengan lapang dada, ataukah sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi dalam hati mereka alias acuh tak perduli, atau bahasa gaulnya "emang gue pikiran", begitu kali yang ada dalam benak mereka. Sungguh pemandangan yang aneh dan jarang terjadi.

Sedang dibalik beberapa bus yang penuh sesak, sesekali wajah-wajah di dalamnya melihat pemandangan di luar yang penuh air. Terlintas rasa kasihan dan sedih, ada juga wajah yang menyemburatkan rasa kesal di dalam hati (mungkin dia berpikir kenapa ini terus-terusan terjadi), ada juga wajah yang kosong tak berarti, bahkan ada mata yang terkantuk memandang dengan berat dan sedikit acuh tak perduli (mungkin semalam kurang tidur karena begitu banyak beban yang harus dikerjakan, atau begadang menonton sepakbola di tv he he). Pemandangan yang kulihat dari sebuah sedan mulus yang tercemar genangan air membuat mobil tersebut sedikit kotor walau dibandingkan dengan mobil-mobil lainnya masih mentereng catnya tertimpa cahaya matahari. Kulihat wajah cantik di sisi kiri dan wajah elegan duduk di sampingnya, di depan supir menatap pasrah kemacetan yang terjadi. Dua wajah ini nampak tenang sekali, ada yang membaca koran sembari menonton tv, ada yang menelpon dan tergelak-gelak menyelingi. Mereka terjebak macet dan banjir tapi mereka masih bisa menyenangkan diri, sungguh beruntung sekali.

Kota ini sungguh sudah sesak sekali, berisi bangunan bertingkat tinggi nan mewah, walau sebenarnya di belakangnya tersembunyi hunian kumuh dari rakyat yang tak mampu membeli rumah. Banyak hunian di sepanjang rel kereta yang dibuat dengan asal jadi, seperti bekas seng atau kardus yang ditumpuk kanan kiri untuk menutupi dari hujan dan sengatan matahari. Cukuplah bagi mereka untuk merebahkan diri dan memulihkan tenaga untuk keesokan harinya lagi.

Tiba-tiba aku tersentak kaget karena angin kencang menderu dan berlari, semua menjadi kacau dan berusaha menyelamatkan diri. Dalam hitungan 2 menit kemudian anginpun berhenti. Aku yang tadi terdiam kaku mulai berani menatap kanan dan kiri. Rupanya keadaan menjadi riuh rendah dan semrawut sekali. Banyak pohon-pohon peneduh jalan tumbang dan menimpa mobil-mobil di bawahnya. Tentu saja kacau dan hingar bingar suara-suara jadi menambah bingung hati. Akupun cepat berlari dan pulang.

Sore hati ketika luang, aku menyalakan tv, mendengar berita sore hari. Kulihat banyak sekali pohon tumbang yang menyebabkan kerusakan pada mobil yang ditimpanya, belum lagi ada pengendara motor yang meninggal karenanya. Masyaallah, rumah petak kumuh di belakang gedung mewah itu juga disapu angin tanpa permisi dan menambah sedih rakyat yang miskin ini. Gedung besarpun tak luput dari sentuhan angin yang menyapa dan membawa apa saja yang ia lewati. Angin itu bernama puting beliung. Dari namanya kita sudah bisa menerka bagaimana ia lewat dan memutar dengan cepat sehingga apa saja yang dilaluinya akan ikut terbawa.

Subhanallah ya Robbi, angin itu juga ciptaanmu. Angin biasa bertiup lembut dan menyejukan seluruh manusia yang tinggal di bumi. Angin pula yang menolong perahu-perahu nelayan untuk pergi mencari ikan. Angin lembut juga membuat kita semua betah duduk di bawah rindang pepohonan. Tapi mengapa kali ini ia menjadi kasar, ia bertiup kencang dan berlari. Allah Maha Pengasih dan Maha penyayang, IA tidak pernah menzholimi umatnya. Aku sangat percaya akan hal ini, berarti kesalahan ada pada diri kita penduduk bumi. Akupun coba untuk merenungi, mungkin karena tidak banyak lagi tanaman bakau di sepanjang pantai yang fungsinya untuk mencegah erosi air laut serta memecah angin agar tidak kencang ke daratan. Hutan bakau yang sangat berarti itu memang kini sudah ditebangi dan daerah hutan itu telah menjadi komplek perumahan mewah yang sangat indah dan mahal dengan pemandangan laut yang sangat menakjubkan. Berarti mungkin itu satu kesalahn yang baru kutemui, atau juga mungkin karena penggundulan bukit-bukit dengan menebang pepohonannya dan tidak menanamnya kembali, sehingga hutan dan bukit jadi gundul dan anginpun leluasa lewat gak usah permisi lagi (ibarat orang yang sudah botak kepalanya, tentunya keringat langsung mengalir gak ada yang nahan lagi he he). Atau bahkan yang lebih parah jika hutan atau bukit-bukit tersebut sudah diratakan dan dijadikan perumahan lagi. Ya sudah lengkaplah semua kesalahan kita manusia bumi ini. Semoga kita cepat menyadari dan memperbaiki keadaan ini...

Keindahan Warna Bunga

Beberapa waktu yang lalu aku serta keluargaku berjalan-jalan mengisi hari sabtu yang biasanya kami hanya tinggal di rumah saja, paling-paling membaca majalah, nonton tv, maen tanah memberesi bunga-bunga, atau makan apa saja yang ada, bahkan juga tidur saja memanjangkan kaki he he. Anak-anak merasa bosan akhirnya kami putuskan untuk pergi ke Kebun Bunga Nusantara di Cipanas Puncak. Sebenarnya malas untuk pergi kes
ana, karena membayangkan macetnya jalanan menuju kesana dan juga pasti melelahkan, membayangkannya saja aku sedikit sebal, tapi demi anaka-anak akhirnya kamipun berangkat.

Sudah ditebak diawalnya, kami terjebak macet di jalan tol saja sudah merayap seperti semut beriringan. Mobil bergerak satu meter lalu berhenti, kemudian maju lagi seperti tadi. Sungguh menjengkelkan, tapi yah apa hendak dikata sudah gak bisa mundur lagi. Anak-anak mencoba mengisi kebosanannya dengan memakan camilan, hingga ludes tentunya, gak tanggung-tanggung merekapun akhirnya tertidur juga. Tapi ini sangat menguntungkan, karena aku dan ayahnya tidak sebal mendengarkan ocehan mereka semua he he. Akupun memutar lagu keras-keras agar kantuk yang mulai menyerangku dapat hilang sedikit, karena si ayah protes katanya ia seperti jadi sopir, habis penumpangnya pada tidur semua. Iya juga ya jadi mirip supir bis antar kota, yang penumpangnya sering tertidur dengan gaya yang aneh serta mengiler tentunya. Yah terpaksa aku juga mencoba meraih sebuah permen pedas agar mata ini semakin membelalak terbuka. Rupanya permen itu cukup manjur juga, akhirnya mataku mulai membesar dan dudukkupun mulai tegak kembali. Dan sungguh senang hatiku ternyata jalanan macet tadi sudah terlewati. Kamipun meluncur dengan senang hati.

Tak lama kamipun sampai di kebun bunga tersebut, anak-anak bangun an berteriak riang sekali. Setelah membeli tiket masuk dan tak lupa membeli minuman serta camilan kecil buat teman mengunyah sembari melihat keindahan taman bunga ini. Baru masuk saja kami sudah disongsong dengan beraneka bunga berwarna-warni yang tersusun rapi. Semua itu membuat hati tidak saja senang, tapi juga sejuk serta mata menjadi segar sekali. Subhanallah, padahal bunga-bunga itu hanyalah bunga-bunga biasa yang disusuna rapi dan berselang-seling warnanya. Barisan warna bunga membentuk konfigurasi warna yang sangat indah. Ini adalah karunia Illahi, warna-warna bunga tersebut mampu menghipnotis mata serta membuat hati menjadi sejuk dan bahagia. Begitu banyak warna bunga yang terdapat di alam ini, begitu banyak bentuk bunga yang indah dan menawan hati. Semua ini Allah buat untuk kita penduduk bumi.

Aku berhenti dan menatap hamparan bunga sepanjang mata memandang. Satu bunga dengan lainnya warnanya tidak sama, bentuknyapun demikian juga. Sungguh Besar Kuasa Illahi yang menciptakan semua ini. Ah semakin aku berjalan semakin aku tertegun-tegun menatap santapan mata yang indah ini. Anak-anak sesekali memanggilku agar berjalan sedikit cepat, mereka tidak sabar melihat aku berjalan celinguk sana dan celinguk sini mirip orang bingung. Padahal aku sudah sering melihat bunga-bunga seperti ini. Tapi susunan bunga-bunga dengan pengaturan warna bunga inilah yang membuatku takjub dan baru merasakan betapa Allah Maha Segalanya, ciptaannya semua indah dan berarti. Allah ingin memanjakan manusia sebagai penduduk bumi ini dengan menciptakan bunga yang berwarna-warni. Allahpun memberikan segala yang ada di bumi ini untuk kita manusia sebagai penduduk bumi. Segalanya untuk kita, manusia bumi. Tapi mengapa rasa terima kasih dan syukur kepadaNya sering terabaikan. Aku jadi malu hati, semoga kita semua dapat membaca alam ini dan menjaganya juga mencoba untuk selalu bersyukur padaNya sampai akhir nanti. Amin.

Jumat, 26 Juni 2009

Kisah Ilalang..



Sepanjang perjalanan dari Jakarta yang kulalui berharap sampai di kota kelahiranku dan berjarak 6 jam saja melewati pelabuhan Merak yang berada di Cilegon. Berangkat dari Jakarta setelah sholat subuh biar tidak terjebak macet pikirku. Tapi ternyata karena Sabtu ini hari libur, pagi haripun jalanan sudah mulai ramai diisi dengan mobil-mobil yang kurasa isinyapun sama, yaitu keluarga yang hendak berlibur. Akupun agak sedikit mempercepat laju mobil yang kukendarai, dan terus terang saja ini kali pertamaku pulang kampung mengendarai mobil sendiri. Biasanya aku menumpang dengan keluarga kakakku, tapi karena tempatnya penuh dengan barang bawaan, maka tentu saja kami sekeluarga dengan 3 jiwa ini tidak dapat menumpang tentunya. Yah akhirnya dengan terpaksa aku beralih profesi menjadi supir cadangan. Untungnya ada keponakanku yang mau menggantikan bila aku mulai letih mengendarai mobil yang harus sedikit berkonsentrasi karena jalanannya banyak yang berlubang. Kadang-kadang anakku meledekku, katanya jalanannya sudah seperti wajahku yang banyak berlubang bekas jerawat yang kupencet-pencet sehingga membengkak dan akhirnya berlubang-lubang. Wah kalo kupikir-pikir ada benarnya juga he he.

Sepanjang perjalanan di Jakarta sangat bosan dengan pemandangan kotak-kotak bangunan yang menjulang tinggi dan kemacetan yang membuat penat kaki. Mungkin kalau bisa protes tentunya kaki inipun minta diganti dengan yang baru biar fit lagi. Akhirnya kamipun dapat menikmati pemandangan Sawah yang menghampar, walaupun dijung sawah itu sudah mulai muncul bangunan yang bertebaran. Kupikir sebentar lagipun di sepanjang jalan tol Merak ini nantinya tidak akan dapat lagi kunikmati hamparan hijau sawah seperti ini. Kemanakah para petani itu kakan pergi mencari tanah pengganti ya?

Diujung jalan keluar tol Merak, kamipun disuguhi hamparan laut yang membentang luas dan kelihatan tak bertepi. Entah mengapa walaupun sudah sangat sering melihat lautan, aku tidak pernah bosan memandangnya lagi. Entahlah, seperti ada banyak hal dalam lautan yang masih menyimpan misteri, lautan sangat mempesona dan mengandung sedikit misteri menurutku. Aku tak pernah dapat menjabarkannya dengan baik perasaanku tentang lautan. Jika malam hari wajah lautan sangat mengagumkan dan sedikit membuat takut dalam sanubari ini. Mungkin karena aku sering melihat warnanya yang hijau dan tak dapat ditembus mata ke bawah, betapa dalamnya lautan itu, bagaimana kehidupan di dalamnya. Ada apa saja di bawah sana, dan banyak pertanyaan menggelayuti hati ini.

Akhirnya sampailah kami di kapal yang akan membawa kami ke kampung halaman tercinta. Tentu saja masih memandangi lautan dan terkadang sedikit melihat tontonan ikan-ikan besar yang melompat di atas permukaan laut dengan indahnya. Gugusan pulau-pulau kecil yang ada sekaligus menambah keindahan lautan ini dengan warna hijau tanaman di atasnya. Puas memandang laut kamipun tertidur selama perjalanan ini, lumayan hitung-hitung mengisi batere agar waktu bangun sudah segar lagi. Sesekali tidur terganggu dengan suara musik yang menghentak keras dari kapal ini. Bunyi terompet kapal 3 kali, membuat kami semua bersiap-siap yang tandanya kapal telah sampai di pelabuhan BakauHeni, hanya 2 jam saja ternyata.

Kembali mobil menuruni kapal dan kamipun mendarat di ujung pulau Sumatera ini, tentu saja senang hati ini. Sepanjang perjalanan masih banyak kebun-kebun di kanan dan kiri, seperti kebun pisang, kebun jagung, singkong dan sesekali diselingi tambak udang yang menghampar. Pemandangan ini sangat melegakan hati. Mataku tertumbuk pada hamparan lapangan kosong yang ditubuhi ilalang yang sudah sangat tinggi, dan serentak sedang berbunga warnanya putih seperti kapas, indah sekali. Mungkin bangi petani, ilang ini merupakan musah besar yang sangat menggangu sekali, tetapi Allah SWT menciptakan apa saja di muka bumi ini tidaklah sia-sia dan selalu ada manfaatnya. Teringat d waktu kecil aku senang sekali mengambil bunga ilalang ini dan menaruhnya di dalam kaleng bekas yang kujadikan sebagai vas bunga, indah sekali menurutku waktu itu dan sampai kini akupun masih menyukainya. Tapi aku sering dimarahi ibuku bila membawa pulang sering-sering, karena sehabis memetik bunga ilalang itu aku akan menjadi gatal-gatal dari tangan, kaki dan wajahku yang terkena sewaktu memetiknya. Dan belum lagi bajuku menjadi sulit dicuci karena butiran-butiran biji di dalam bunga ilalang terlepas dan menyangkut di bajuku. Walaupun mengomel ibuku akan memberi badanku seperti minyak telon untuk mengurangi gatal di badanku. Anehnya aku tetap tidak kapok juga dan terus membawa bunga ilalang bila sehabis bermain dengan teman-teman.

Ternyata walaupun sebagai gulma yang mengganggu tanaman pertanian, ilalang juga sekarang telah ditemukan manfaat positifnya. Seperti akar ilalang sudah dimanfaatkan sebagai tanaman obat dan sudah dijual di pasar-pasar tradisional maupun di swalayan besar, Subhanallah! Belum lagi daunnya yang keset dan tajam itu dapat digunakan sebagai makanan ternak, juga dianyam sebagai atap rumah. Juga potongan daun keringnya dapat dibuat mulsa untuk menutupi tanah agar tanah tetap gembur dan subur. Ternya ilalang ini banyak juga manfaatnya, sungguh tidak sia-sia ciptaan Ilahi Robbi. Semoga kita semua akhirnya dapat menguak satu persatu setiap ciptaannya yang masih belum kita mengerti manfaatnya kini. Amin.


Lautku...


Masa kecilku sering sekali bermain ke laut. Hampir setiap minggu aku, ayah, ibu, adik serta kakakku selalu meluangkan waktu untuk bertamasya ke laut. Jelas aja, lha karena rumahku tidaklah jauh dari laut dan juga karena biaya rekreasi cukup murah tentunya he he. Hanya saja kadang membuatku bosan karena permainan yang ada di tempat rekreasi itu hanya sedikit, hanya ada beberapa ayunan, ataupun perosotan yang sudah usang dan tidak menarik. Tidak seperti tempat rekreasi laut yang ada sekarang ini yang begitu banyak wahana bermainnya yang sangat menarik hati. Tentunya saja kita harus merogoh kocek cukup banyak ya. . seperti di Ancol, atau tempat rekreasi laut lainnya. Tapi aku sudah bersyukur pada waktu itu karena biasa rekreasi murah meriah.

Di laut kampungku itu aku biasa berenang di tepinya saja, ya jelas seumur aku sekolah dasar aku belum bisa berenang, yah bisa diduga pasti aku menggunakan ban sebagai penopang tubuhku. Tapi jangan harap ban renangku itu indah bergambar warna warna ataupun bergambar tokoh kartun seperti Mickey Mouse, Tom and Jerry idola anak-anak masa kini. Ban renangku hanyalah bekas ban dalam mobil yang sudah penuh tambal sana dan sini, itupun dengan menyewa pada penduduk setempat yang juga mendapatkan peluang usaha menyewakan ban. Ternyata penduduk setempat yang pekerjaaan sehari-harinya sebagai nelayan itu, mampu membaca peluang usaha yang ada di depannya. Walhasil pendapatan sampingan mereka jadi cukup lumayan, apalai bila hari liburan sekolah tiba, jelas pengunjung datang berbondong-bondong sampai tempat itu penuh sesak. Wah, Allah memang adil ya, semua mendapatkan rezeki sesuai dengan usaha mereka. Malah waktu itu aku sempat berfikir, "enak sekali ya bisa mendapatkan uang banyak dalam sehari saja?", padahal yang menyewakan ban ban untuk renang itu adalah anak-anak juga, yang bila selepas sekolah mereka membantu orang tuanya dan bila hari libur merekapun bekerja. Ada yang menyewakan ban, ada yang menjual umang-umang (itu lho sejenis keong yang suka ngumpet di dalam pasir di tepi pantai). Aku juga dulu suka membelinya, senang saja memainkannya karena bila kita usik, maka umang-umang itu akan masuk ke dalam cangkangnya yang digunakan sebagai rumah tempat tinggalnya. Ternyata di kota-kota besar masih kudapati penjual umang-umang ini, tapi menariknya mereka telah mengemasnya dengan melukis rumah umang-umang itu dengan berbagai macam gambar yang menarik hati anak-anak maupun orang dewasa. Rupanya penjual umang-umang sudah semakin cerdik dan pintar.

Aku juga suka menangkapi ikan-ikan kecil yang sangat indah dan berwarna warni, ada yang biru, kuning, merah campur hitam. Tapi aku dulu tidak tau namanya, aku hanya menyebutnya sesuai dengan warna ikan itu saja, si kuning, si biru dll. Aku akan memasukkan tangkapanku itu ke dalam ember kecil atau kaleng bekas yang selalu kubawa bila ke laut. Dulu aku dapat dengan mudah menangkap ikan-ikan kecil itu hanya dengan tanggok kecil aja, maka ikan bisa kudapat. Aku juga heran mengapa ikan-ikan itu senang bergerombol banyak di laut dekat bebatuan dan sangat mudah menangkapnya. Dan lucunya aku terkadang menangkap ikan yang tidak berwarna (transparan), tapi oleh ibuku disuruh dilepaskan kembali, katanya ikannya tidak cantik, dan kata ibuku dulu ikan itu namanya ikan Teri, biasa digoreng dan dimakan. Bila ingat itu aku tersenyum sendiri, bagaimana tidak karena sekarang aku masih suka memakan ikan teri itu baik digoreng juga sebagai ikan asinnya he he. Kembali ke ikan-ikan cantik yang berwarna-warni itu, biasanya sesampai di rumah aku senang memandanginya. Tapi beberapa hari kemudian akan mati, ternyata dulu aku mencampur airnya dengan air sumur di rumahku. Aku belum mengerti bila ikan laut airnya harus air asin, tidak sama dengan ikan air tawar yang biasa hidup dari air sumur di rumah, walaupun asalnya dari sungai-sungai. Wah jadi geli mengingat kebodohanku di waktu kecil. Yah hitung-hitung belajar secara langsung ya he he.

Selain berenang, aku juga suka bermain pasir dengan membentuknya menjadi istana-istana yang kucetak dari ember kecil atau kaleng-kaleng bekas dan menyusunnya satu persatu sehingga membentuk sebuah istana yang indah (waktu itu kubilang indah..he he). Tapi aku akan senewen bila tiba-tiba ombak laut datang dan merubuhkan serta menyeret istana pasirku menjadi rata lagi. Sembari menggerutu biasanya aku akan pergi menemui orang tuaku, dan mereka bilang agar aku membuatnya kembali, sungguh jawaban yang datar sekali ya? Dan biasanya ibuku akan membelikanku jagung bakar yang banyak dijual disana, dan itu cukup membuat aku diam sejenak. Tak lama memakan jagung akau akan kembali mencari keong-keong cantik atau batu karang-batu karang yang banyak terdampar disana. Biasanya akan kukumpulkan dan kubawa pulang, walau sampai di rumah hanya kutaruh saja sebagai koleksi. Dan yang lucunya aku begitu takut bila badanku nyangkut pada rumput laut yang banyak tumbuh alami disana. Kupikir itu binatang yang menjijikkan karena bentuknya seperti karang dan licin-licin. Padahal sekarang ini aku baru menyadarinya, bahwa rumput yang licin dan menjijikkan itu ternyata mengandung protein dan serat yang tinggi dan baik untuk kesehatan kita semua. Rumput itulah yang biasa dibuat agar-agar sekarang ini, dengan rasa yang sudah bermacam-macam dan berwarna-warni dan sangat disukai anak-anak. Aku yang dulu jijik dengan rumput laut itu, sekarang senang sekali memakannya sebagai agar-agar, juga sebagai campuran untuk minuman atau es buah segar, bahkan sekarang sudah ada dodolnya juga. Ternyata Allah memberikan segala isi di bumi kita ini sangat banyak manfaatnya bagi kehidupan kita semua. Subhanallah, walaupun telat aku baru menyadarinya setelah tua ini. Ini baru pelajaran kecil yang terbaca olehku, semoga kita semua cepat menyadari kekayaan alam bumi ini dan bisa belajar megolahnya dengan baik dan benar sehingga mampu memanfaatkannya baik untuk kita sendiri maupun untuk semua penduduk bumi ini.

Rumput laut ini sekarang sedang digalakkan pembudidayaannya, karena hasilnya yang cukup tinggi dan dapat mendongkak pendapatan nelayan yang juga sebagai petani rumput laut. Selain penghasilan yang cukup tinggi, petani rumput laut ini juga dapat menanami laut dengan gratis, karena tidak perlu membayar sewa kepada Allah yang mempunyai laut dan alam semesta ini. Jadi masih terbuka luas untuk bertani rumput laut. Semoga kita semua dapat mengelola laut dengan baik dan memanfaatkannya dengan baik...




Rabu, 24 Juni 2009

Lagu semasa kecilku

Jam menunjukkan pukul 9 pagi, dan tugas harianku membenahi rumah sudah selesai. Menyapu butiran-butiran debu yang menghitam karena terselimuti udara di Jakarta yang tersesaki oleh polisi eh polusi. Yang kadang membuatku bersin-bersin mendadak ketika kumpulan debu-debu itu tersapu lewat wajahku dan tentunya tanpa permisi lagi masuk ke dalam hidungku (yang lumayan besar he he), tentunya debu-debu itu leluasa berlarian menuju hidungku dan inginnya masuk ke dalam paru-paru untuk bertamu. Huh! enak sekali dia masuk tanpa meminta ijin dulu padaku. Sembari mengomel dalam hati tetap saja kukumpulkan onggokan debu-debu itu dan menguncinya dalam tempat sampah. Biar dia bisa merasakan betapa tidak enaknya aku ketika dia menggelitiki hidungku, rasakan itu!
Pekerjaan pertama telah kuselesaikan dengan mulusnya, he eh kenapa aku jadi agak narsis begini ya? Tapi kan sekarang narsis sedang naik daun, bolehlah aku sedikit tertular itu. Ah sudahlah, aku harus mengambil ember dan mengisinya dengan air serta campuran satu tutup botol karbol, ramuan ini sungguh sangat berkhasiat untuk membuat lantai mengkilap serta bebas kuman (tentu saja ini promosi dari produsen karbol itu tentunya). Kelihatan mengkilap memang! Sudahlah yang penting tugas keduapun sudah aku rampungkan dengan sempurna menurut mataku, karena semua lantai telah terlihat basah merata, walau kadang-kadang aku lupa untuk sering membilasnya, jadi kebersihannya kayanya belum teruji he he. Yang yang penting sudah menggugurkan tugas kedua ini. Jadi teringat waktu ku kecil, yang penting tugas selesai, hasil dipikirin belakangan.
Yup! Sekarang melompat ke pekerjaan ketiga, apalagi kalo bukan menggosok baju yang dicuci kemarinnya tentunya. Pekerjaan menggosok kukerjakan dengan kilat khusus, karena pinggang sudah mulai ngadat menggeliat kanan dan kiri minta penangguhan dari duduk, maksudnya tiduran gitu, mungkin si pinggang sudah mulai bosan duduk tanpa gaya. Mana kaki juga mulai ikutan ngadat minta diselonjorin. Ya sudah jadilah menggosok cepat ala ibu pemalas ini, alias melipat baju dan menggosok hanya sekedarnya saja, licin dan rapih tidak ditanggung he he. Selesai juga baju-baju itu berbaris dengan rapih dan siap diantarkan ke dalam lemari.
Akhirnya sampai juga aku di depan TV, tentunya saja di atas kursi panjang tuaku hasil warisan dari Pamanku yang sudah tiada. Betapa leganya ketika kuselonjorkan kaki, kuambil bantal untuk menopang leher yang sudah bosan menggantung terus he he. Sedikit suara gemeretak tulang-tulang tangan dan kaki ketika aku menggeliatkan badan ini. Dan kuambil remote TV dan kunyalakan sembarangan saluran. Duh! Kulihat pemandangan indah di layar kaca kecil itu, betapa tidak, hamparan luas lautan yang membiru, menghampar di bumi kita Indonesia ini, belum lagi keindahan pegunungannya yang kokoh berdiri gagah dan kuat, begitu mempesona. Ombak lautan yang sesekali membuat garis-garis putih datang menghampiri tepian dan beberapa saat kemudian pergi. Sungguh indah dan harmoni sekali wajah lautan. Dan ketika melihat ke atas, langit yang membirupun menghampar mengayomi lautan dan gunung di bawahnya. Tak kalah dengan laut, langitpun dihiasi dengan awan-awan yang bergerak beriringan seperti anak-anak kecil berjajar bersama dan bermain senang.
Aku jadi teringat sebuah lagu sewaktu aku kecil dulu, ada sedikit yang masih terekam dalam benakku hingga sekarang, dan jujur saja aku lupa akan judulnya apalagi pencipta lagunya. Tapi aku sangat berterima kasih bagi pencipta lagu tersebut, karena lagu itu selalu membuatku tersentuh dan teringat akan kekuasaan Allah yang mempunyai laut, gunung dan langit yang begitu indah tak bertepi. Ini penggalan lagu tersebut:
Betapa kecil diriku rasa
Setiap kali langitku pandang
Hanyalah satu hanyalah Puji
Yang dapat kuucapkan saja
Langit langit tiada batas tinggi dan luas
Langit langit
Betapa besar Agung Raya
Alam Semesta
Aku hanya mengingat sepenggal bagian itu saja, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dari lagu tersebut. Anehnya lagu itu kunyanyikan sewaktu aku duduk di sekolah dasar lebih dari 30 tahun lalu dan sampai sekarang aku masih sering menyenandungkannya. Entahlah ada apa dengan lagu itu sehingga masih terekam kuat dalam memori otakku. Terkadang bila menyanyikannya aku begitu menjiwainya sepenuh hati, sampai buliran air mata terjatuh menetes satu persatu. Entah mengapa hal itu terjadi sampai sekarang aku tidak tahu. Aku hanya merasakan begitu kecilnya diri ini di hadapan empunya langit dan bumi ini. Tetesan air mata itu mengiringi slide-slide masa lalu, dan menampakkan rentetan-rentetan kesalahan masa kecilku, langkah-langkah keliru di masa dewasa hingga aku sekarang ini. Sepertinya lagu itu mengingatkan diriku akan kuasa Ilahi pemilik langit dan bumi ini. Semoga aku dapat mengedit diri ini dan mengisi coretan-coretan hidupku dengan baik seperti yang kuinginkan dan sesuai dengan jalanNya yang lurus. Selalu berharap! Amin.