Sebenarnya sekarang ini harusnya sudah memasuki musim kemarau, tapi beberapa waktu lalu hujan masih muncul dan tentunya menggenangi jalan-jalan di setiap sudut kota Jakarta ini. Lumayan membuat genangan yang cukup tinggi bagi para pejalan kaki, kasihan kadang mereka harus menggulung celana dan menenteng sepatunya ketika hendak berangkat kerja. Nampaknya hal ini sudah sangat biasa, sehingga pendudukpun tidaklah terlalu merisaukannya, semua ikhlas menerimanya atau sebenarnya menggerutu di dalam hati, yang jelas hal intu tidaklah menyurutkan mereka semua untuk berangkat kerja mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Sesekali pejalan kaki itu terkejut dengan aliran air yang tiba-tiba mencipratinya karena ulah sepeda motol atau mobil yang tidak mau berjalan pelan sehingga tentunya membuat celana mereka sedikit basah. Lucunya mereka tidak marah, aku sedikit bingung, apakah ini berarti mereka menerima semua ini dengan lapang dada, ataukah sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi dalam hati mereka alias acuh tak perduli, atau bahasa gaulnya "emang gue pikiran", begitu kali yang ada dalam benak mereka. Sungguh pemandangan yang aneh dan jarang terjadi.
Sedang dibalik beberapa bus yang penuh sesak, sesekali wajah-wajah di dalamnya melihat pemandangan di luar yang penuh air. Terlintas rasa kasihan dan sedih, ada juga wajah yang menyemburatkan rasa kesal di dalam hati (mungkin dia berpikir kenapa ini terus-terusan terjadi), ada juga wajah yang kosong tak berarti, bahkan ada mata yang terkantuk memandang dengan berat dan sedikit acuh tak perduli (mungkin semalam kurang tidur karena begitu banyak beban yang harus dikerjakan, atau begadang menonton sepakbola di tv he he). Pemandangan yang kulihat dari sebuah sedan mulus yang tercemar genangan air membuat mobil tersebut sedikit kotor walau dibandingkan dengan mobil-mobil lainnya masih mentereng catnya tertimpa cahaya matahari. Kulihat wajah cantik di sisi kiri dan wajah elegan duduk di sampingnya, di depan supir menatap pasrah kemacetan yang terjadi. Dua wajah ini nampak tenang sekali, ada yang membaca koran sembari menonton tv, ada yang menelpon dan tergelak-gelak menyelingi. Mereka terjebak macet dan banjir tapi mereka masih bisa menyenangkan diri, sungguh beruntung sekali.
Kota ini sungguh sudah sesak sekali, berisi bangunan bertingkat tinggi nan mewah, walau sebenarnya di belakangnya tersembunyi hunian kumuh dari rakyat yang tak mampu membeli rumah. Banyak hunian di sepanjang rel kereta yang dibuat dengan asal jadi, seperti bekas seng atau kardus yang ditumpuk kanan kiri untuk menutupi dari hujan dan sengatan matahari. Cukuplah bagi mereka untuk merebahkan diri dan memulihkan tenaga untuk keesokan harinya lagi.
Tiba-tiba aku tersentak kaget karena angin kencang menderu dan berlari, semua menjadi kacau dan berusaha menyelamatkan diri. Dalam hitungan 2 menit kemudian anginpun berhenti. Aku yang tadi terdiam kaku mulai berani menatap kanan dan kiri. Rupanya keadaan menjadi riuh rendah dan semrawut sekali. Banyak pohon-pohon peneduh jalan tumbang dan menimpa mobil-mobil di bawahnya. Tentu saja kacau dan hingar bingar suara-suara jadi menambah bingung hati. Akupun cepat berlari dan pulang.
Sore hati ketika luang, aku menyalakan tv, mendengar berita sore hari. Kulihat banyak sekali pohon tumbang yang menyebabkan kerusakan pada mobil yang ditimpanya, belum lagi ada pengendara motor yang meninggal karenanya. Masyaallah, rumah petak kumuh di belakang gedung mewah itu juga disapu angin tanpa permisi dan menambah sedih rakyat yang miskin ini. Gedung besarpun tak luput dari sentuhan angin yang menyapa dan membawa apa saja yang ia lewati. Angin itu bernama puting beliung. Dari namanya kita sudah bisa menerka bagaimana ia lewat dan memutar dengan cepat sehingga apa saja yang dilaluinya akan ikut terbawa.
Subhanallah ya Robbi, angin itu juga ciptaanmu. Angin biasa bertiup lembut dan menyejukan seluruh manusia yang tinggal di bumi. Angin pula yang menolong perahu-perahu nelayan untuk pergi mencari ikan. Angin lembut juga membuat kita semua betah duduk di bawah rindang pepohonan. Tapi mengapa kali ini ia menjadi kasar, ia bertiup kencang dan berlari. Allah Maha Pengasih dan Maha penyayang, IA tidak pernah menzholimi umatnya. Aku sangat percaya akan hal ini, berarti kesalahan ada pada diri kita penduduk bumi. Akupun coba untuk merenungi, mungkin karena tidak banyak lagi tanaman bakau di sepanjang pantai yang fungsinya untuk mencegah erosi air laut serta memecah angin agar tidak kencang ke daratan. Hutan bakau yang sangat berarti itu memang kini sudah ditebangi dan daerah hutan itu telah menjadi komplek perumahan mewah yang sangat indah dan mahal dengan pemandangan laut yang sangat menakjubkan. Berarti mungkin itu satu kesalahn yang baru kutemui, atau juga mungkin karena penggundulan bukit-bukit dengan menebang pepohonannya dan tidak menanamnya kembali, sehingga hutan dan bukit jadi gundul dan anginpun leluasa lewat gak usah permisi lagi (ibarat orang yang sudah botak kepalanya, tentunya keringat langsung mengalir gak ada yang nahan lagi he he). Atau bahkan yang lebih parah jika hutan atau bukit-bukit tersebut sudah diratakan dan dijadikan perumahan lagi. Ya sudah lengkaplah semua kesalahan kita manusia bumi ini. Semoga kita cepat menyadari dan memperbaiki keadaan ini...
Sedang dibalik beberapa bus yang penuh sesak, sesekali wajah-wajah di dalamnya melihat pemandangan di luar yang penuh air. Terlintas rasa kasihan dan sedih, ada juga wajah yang menyemburatkan rasa kesal di dalam hati (mungkin dia berpikir kenapa ini terus-terusan terjadi), ada juga wajah yang kosong tak berarti, bahkan ada mata yang terkantuk memandang dengan berat dan sedikit acuh tak perduli (mungkin semalam kurang tidur karena begitu banyak beban yang harus dikerjakan, atau begadang menonton sepakbola di tv he he). Pemandangan yang kulihat dari sebuah sedan mulus yang tercemar genangan air membuat mobil tersebut sedikit kotor walau dibandingkan dengan mobil-mobil lainnya masih mentereng catnya tertimpa cahaya matahari. Kulihat wajah cantik di sisi kiri dan wajah elegan duduk di sampingnya, di depan supir menatap pasrah kemacetan yang terjadi. Dua wajah ini nampak tenang sekali, ada yang membaca koran sembari menonton tv, ada yang menelpon dan tergelak-gelak menyelingi. Mereka terjebak macet dan banjir tapi mereka masih bisa menyenangkan diri, sungguh beruntung sekali.
Kota ini sungguh sudah sesak sekali, berisi bangunan bertingkat tinggi nan mewah, walau sebenarnya di belakangnya tersembunyi hunian kumuh dari rakyat yang tak mampu membeli rumah. Banyak hunian di sepanjang rel kereta yang dibuat dengan asal jadi, seperti bekas seng atau kardus yang ditumpuk kanan kiri untuk menutupi dari hujan dan sengatan matahari. Cukuplah bagi mereka untuk merebahkan diri dan memulihkan tenaga untuk keesokan harinya lagi.
Tiba-tiba aku tersentak kaget karena angin kencang menderu dan berlari, semua menjadi kacau dan berusaha menyelamatkan diri. Dalam hitungan 2 menit kemudian anginpun berhenti. Aku yang tadi terdiam kaku mulai berani menatap kanan dan kiri. Rupanya keadaan menjadi riuh rendah dan semrawut sekali. Banyak pohon-pohon peneduh jalan tumbang dan menimpa mobil-mobil di bawahnya. Tentu saja kacau dan hingar bingar suara-suara jadi menambah bingung hati. Akupun cepat berlari dan pulang.
Sore hati ketika luang, aku menyalakan tv, mendengar berita sore hari. Kulihat banyak sekali pohon tumbang yang menyebabkan kerusakan pada mobil yang ditimpanya, belum lagi ada pengendara motor yang meninggal karenanya. Masyaallah, rumah petak kumuh di belakang gedung mewah itu juga disapu angin tanpa permisi dan menambah sedih rakyat yang miskin ini. Gedung besarpun tak luput dari sentuhan angin yang menyapa dan membawa apa saja yang ia lewati. Angin itu bernama puting beliung. Dari namanya kita sudah bisa menerka bagaimana ia lewat dan memutar dengan cepat sehingga apa saja yang dilaluinya akan ikut terbawa.
Subhanallah ya Robbi, angin itu juga ciptaanmu. Angin biasa bertiup lembut dan menyejukan seluruh manusia yang tinggal di bumi. Angin pula yang menolong perahu-perahu nelayan untuk pergi mencari ikan. Angin lembut juga membuat kita semua betah duduk di bawah rindang pepohonan. Tapi mengapa kali ini ia menjadi kasar, ia bertiup kencang dan berlari. Allah Maha Pengasih dan Maha penyayang, IA tidak pernah menzholimi umatnya. Aku sangat percaya akan hal ini, berarti kesalahan ada pada diri kita penduduk bumi. Akupun coba untuk merenungi, mungkin karena tidak banyak lagi tanaman bakau di sepanjang pantai yang fungsinya untuk mencegah erosi air laut serta memecah angin agar tidak kencang ke daratan. Hutan bakau yang sangat berarti itu memang kini sudah ditebangi dan daerah hutan itu telah menjadi komplek perumahan mewah yang sangat indah dan mahal dengan pemandangan laut yang sangat menakjubkan. Berarti mungkin itu satu kesalahn yang baru kutemui, atau juga mungkin karena penggundulan bukit-bukit dengan menebang pepohonannya dan tidak menanamnya kembali, sehingga hutan dan bukit jadi gundul dan anginpun leluasa lewat gak usah permisi lagi (ibarat orang yang sudah botak kepalanya, tentunya keringat langsung mengalir gak ada yang nahan lagi he he). Atau bahkan yang lebih parah jika hutan atau bukit-bukit tersebut sudah diratakan dan dijadikan perumahan lagi. Ya sudah lengkaplah semua kesalahan kita manusia bumi ini. Semoga kita cepat menyadari dan memperbaiki keadaan ini...